Suara.com - Pemerintah Indonesia mengonfirmasi kesiapannya untuk merealisasikan pembelian produk energi dari Amerika Serikat (AS) senilai USD 10 miliar hingga USD 15 miliar, atau setara dengan Rp 160 triliun hingga Rp 240 triliun.
Langkah strategis ini merupakan tindak lanjut langsung dari kesepakatan dagang bersejarah yang dicapai antara Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden AS Donald Trump.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan, komitmen belanja energi raksasa ini mencakup produk-produk vital seperti elpiji (LPG), bahan bakar minyak (BBM), dan minyak mentah (crude oil).
Komitmen Balasan
Menurut Bahlil, pembelian energi dalam jumlah besar ini adalah bagian tak terpisahkan dari proposal yang diajukan Indonesia selama proses negosiasi dagang dengan AS.
Kesepakatan tersebut berhasil menurunkan tarif impor untuk produk-produk Indonesia yang masuk ke pasar AS secara signifikan, dari 32 persen menjadi 19 persen.
“Sudah barang tentu dalam negosiasi itu, salah satu materinya adalah proposal Indonesia kepada Amerika yang akan membeli kurang lebih sekitar 10–15 miliar USD, LPG, BBM, dan crude,” kata Bahlil di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Jumat (18/7/2025).
Dengan tercapainya kesepakatan tersebut, kini giliran Indonesia menunjukkan komitmennya untuk merealisasikan perjanjian dagang yang telah disepakati.
Skema Teknis Segera Disiapkan
Baca Juga: Ada Tambang Batu Bara Ilegal di IKN, Bahlil: Bukan Domain Kami, Itu Aparat Penegak Hukum
Untuk memastikan realisasi komitmen ini berjalan lancar, Menteri Bahlil menyatakan bahwa pihaknya akan segera berkoordinasi dengan PT Pertamina (Persero) untuk menyusun skema teknis pembelian.
Langkah ini krusial untuk memetakan detail mekanisme impor dan distribusinya.
“Dengan proses deal negosiasi ini, maka kami dari ESDM sudah harus melakukan langkah-langkah dalam rangka menindaklanjuti, khususnya dengan Pertamina.
Setelah itu baru saya akan menyampaikan laporan perkembangan terakhir,” katanya.
Aspek Logistik
Pemerintah menyadari adanya potensi tantangan, terutama terkait biaya logistik yang bisa lebih tinggi mengingat jarak geografis antara Indonesia dan AS.
Menjawab kekhawatiran ini, Bahlil menegaskan bahwa semua aspek akan diperhitungkan secara cermat untuk memastikan kesepakatan tetap saling menguntungkan dan tidak membebani negara.
Faktor keekonomian harga dan dampaknya terhadap subsidi energi di dalam negeri akan menjadi prioritas utama dalam perumusan skema teknis.
“Semuanya kita akan hitung sesuai dengan harga keekonomian yang sama. Harus saling menguntungkan, dan kita ingin negara kita juga mendapatkan harga yang seefisien mungkin,” katanya.