Suara.com - Konflik bersenjata berkepanjangan di Papua, terutama di Nduga, membuat rasa kemanusiaan berada di ujung tanduk. Puluhan ribu warga mengungsi ke hutan, yang tak sedikit hanya menjemput kematian di sana. Ada pula kisah pemerkosaan.
SEHARI DI MAPENDUMA terasa puluhan tahun bagi Veronica, tenaga sukarela pengajar SD di Nduga. Sebab, ia tak sebebas seperti di distrik lain.
Banyak larangan yang disampaikan Rumianus atau yang biasa ia sapa Pace Rumi, pemimpin Organisasi Papua Merdeka.
Marta, sukerelawan guru SMP yang tinggal se-rumah dengan Veronica, masih bisa sekali-sekali keluar pondokan menuju arah bandara, tempat warga banyak berkumpul.
Baca Juga:Buku Duka Dari Nduga, Kristin Samah Bicara Tragedi Kemanusiaan di Papua
Veronica sudah sering mengingatkan Marta tidak pergi semaunya, seperti yang dipesankan Pace Rumi. Namun, kali itu, dia membuat pengecualian.
Sebab, Marta pulang membawa kabar yang menarik bagi Veronica: sayap bersenjata OPM sedang mengatur strategi untuk menyerbu polisi dan tentara Indonesia.
Gerilyawan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat dari berbagai distrik berdatangan ke Mapenduma. Setiap kali ada kelompok gerilyawan datang, terdengar yel-yel menyerupai suara burung.
“Itu tandanya kode perang,” bisik Marta kepada Veronica.
Jarak perumahan tempat Veronica dan Marta berdiam dengan lapangan terbang yang biasa digunakan TPNPB-OPM berkumpul dan berlatih, tak terlampau jauh.
Baca Juga:Lima 5 Mayat Ditemukan dalam 1 Lubang di Nduga Papua, TNI Bantah Menembak
Tempat tinggal Veronica, Marta, serta seorang lagi bernama Hanna tak bisa pula disebut layak, karena sangat mudah untuk dibuka orang dari luar.