Pada era Orde Baru, rezim Soeharto melakukan pemberedelan media massa secara terang-teragan.
Represifitas seperti itu, menurut Evi, justru lebih mudah diprotes dan masyarakat juga tak terkecoh. Tapi kini, melalui UU ITE serta KUHP baru, pemberedelan tersebut cenderung dilakukan secara halus.
“Kini pemberedelannya lebih halus, jadi banyak yang terkecoh, merasa kebebasan pers baik-baik saja serta demokrasi dianggap sehat. Padahal tidak.”
Pengesahan KUHP baru juga menciptakan kecemasan-kecemasan baru terhadap jurnalis. Belum lagi adanya aktor non-negara yang tampak dibiarkan mengancam media-media massa terutama di daerah.
“Jadi yang dihadapi bukan ‘pemberedelan’ yang nyata-nyata medianya ditutup. Dibolehin beroperasi, tapi sewaktu-waktu hidup kita bisa lebih susah saja. Ya mau enggak mau, kita bekerja tidak bisa tenang juga,” ungkapnya.
Project Multatuli merupakan jurnalisme nonprofit yang menyajikan laporan mendalam berbasis riset dan data.
Salah satu laporannya berjudul ‘Tiga Anak Saya Diperkosa Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan’ terbit 6 Oktober 2021 disusul viralnya tagar #PercumaLaporPolisi.
“KUHP baru ini sifatnya sebenarnya tambahan. Karena kecemasan yang lebih dulu sebenarnya datang dari UU ITE. Karena ini kami jadi harus lebih hati-hati menggunakan bahasa,” tutur Evi.
Project Multatuli, kata Evi, bekerja sama dengan LBH Pers untuk mengecek setiap naskah laporannya sebelum diterbitkan. Langkah ini dilakukan Project M sebagai antisipasi agar tidak terkena gugatan hukum.
“Harus kami tegaskan bahwa LBH Pers sifatnya memberi saran, bukan menyensor. Nah, KUHP ini menambahkan pasal-pasal yang harus kami khawatirkan.”
![Ilustrasi penghentian proses penyelidikan oleh polisi dalam kasus kekerasan seksual di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. [Project M/Muhammad Nauval Firdaus - di bawah lisensi Creative Commons BY-NC-ND 2.0]](https://media.suara.com/pictures/original/2021/10/07/22019-ilustrasi-berita-pemerkosaan-project-multatuli.jpg)
Kondisi yang lebih rentan dikriminalisasi dengan pasal-pasal bermasalah dalam Undang-Undang ITE dan Undang-Undang KUHP menurut Evi sebenarnya ialah narasumber.
Hal ini terjadi ketika Project M menerbitkan laporan ‘Tiga Anak Saya Diperkosa Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan’.
Lydia, narasumber sekaligus ibu kandung ketiga anak korban pemerkosaan, dilaporkan mantan suaminya selaku terduga pelaku atas tudingan melakukan pencemaran nama baik.
“Sementara pengacara (terduga pelaku) mengadu ke Dewan Pers bahwa Project M mencemarkan nama baik. Bagi kami, laporan ke narasumber adalah sama saja ancaman terhadap kami, ancaman terhadap kebebasan pers. Saya kira KUHP nanti sama juga, pasal-pasal di KUHP bisa saja diterapkan ke para narasumber. Ini berbahaya, karena semakin sedikit narasumber yang berani bicara.”
Hal serupa disampaikan Direktur Eksekutif Remotivi, Yovantra Arief. Meski menurutnya masyarakat kekinian bisa dengan mudah berpendapat atau membuat perusahaan pers bila dibanding pada masa Orde Baru.