- Anak-anak di Sumatra terdampak bencana dengan masalah kesehatan seperti ISPA, ruam, dan diare akibat sanitasi rusak di posko pengungsian.
- Prioritas penanganan bencana bagi anak harus mencakup kesehatan mental dan dukungan psikososial, mengatasi trauma serta kecemasan yang dialami.
- Pencegahan jangka panjang memerlukan integrasi pendidikan kesiapsiagaan bencana sejak dini, mencontoh sistem pelatihan rutin seperti di Jepang.
Di beberapa negara, penanganan bencana untuk anak sudah menjadi sistem yang matang. Jepang, misalnya, dikenal dengan kebijakan disaster preparedness di sekolah. Anak-anak dilatih rutin melakukan evakuasi, mengenali jalur aman, bahkan membantu adik kelas atau lansia ketika gempa terjadi.
Pendekatan itu terbukti menyelamatkan banyak nyawa saat tsunami 2011. Di Kota Kamaishi, murid sekolah mampu mengevakuasi diri dengan cepat karena telah berlatih bertahun-tahun, sebuah contoh bahwa edukasi kesiapsiagaan bisa menjadi investasi keselamatan.
Selain edukasi, Jepang juga menggunakan Child-Friendly Space, ruang aman tempat anak bisa bermain, menggambar, dan mendapatkan pendampingan psikososial setelah bencana. Ruang seperti itu terbukti mengurangi kecemasan dan mencegah trauma berkepanjangan.
Model ini sangat relevan untuk Sumatra. Bayangkan jika di setiap posko terdapat tenda kecil berwarna cerah dengan beberapa buku gambar, alat bermain sederhana, dan relawan yang terlatih untuk mendampingi.
Ketua Satgas Penanggulangan Bencana IDAI, Dr. Kurniawan Taufiq Kadafi, mengingatkan bahwa penanganan anak dalam situasi darurat tidak boleh hanya berfokus pada aspek fisik. Menurutnya, kesehatan mental sering kali terabaikan padahal sama pentingnya.
Membangun Budaya Sadar Bencana Sejak Kecil
Ketika bencana berkali-kali menghantam Sumatra, satu pertanyaan kembali muncul: apa yang sebenarnya kita lewatkan? Profesor bidang mitigasi bencana Universitas Brawijaya, Prof Sukir Maryanto, pernah mengingatkan kalau fondasi kesadaran bencana seharusnya ditanamkan, bukan ketika sirine sudah berbunyi, tetapi jauh sebelum itu.
Sukir menjelaskan bahwa Jepang telah membuktikan bagaimana pendidikan karakter kebencanaan mampu mengubah perilaku generasi mudanya. Program town and school watching yang ia pelajari di sana membuat anak-anak terbiasa memetakan risiko di lingkungan sekitar mereka: dari aliran sungai, jalur evakuasi, hingga titik rawan bangunan.
Pakar mitigasi bencana UPN Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno, menambahkan bahwa Indonesia sebenarnya sudah memiliki standar nasional layanan kemanusiaan dalam bencana.
Baca Juga: Cuaca Lagi Labil, Ini Tips Atasi Demam Anak di Rumah
Standar itu tidak hanya bicara soal tenda yang nyaman dan ramah anak, tetapi juga prasyarat bantuan pangan, non-pangan, hingga tata kelola hewan peliharaan dan ternak yang sering kali luput dari perhatian. Namun standar itu baru berarti bila diterapkan secara menyeluruh, bukan hanya menjadi dokumen di rak lembaga.
Ia menekankan bahwa tata ruang pun harus berubah arah, tidak lagi hanya memikirkan perlindungan anak, tetapi perlindungan keluarga secara utuh. Karena keamanan seorang anak bergantung pada ruang yang juga aman bagi orang tua, saudara, dan seluruh ekosistem kehidupan di sekitarnya.
"Ini penting agar kita berkeadilan untuk semua, anak, orang tua dan yang lain," katanya.
Kurikulum kebencanaan, kata Eko, tidak mungkin tumbuh menjadi refleks kalau tidak ditopang budaya. Anak-anak belajar dari pengulangan sederhana, latihan yang terus-menerus, tidak hanya di sekolah tetapi juga di rumah.
Pada akhirnya, keselamatan anak-anak bukan hanya soal evakuasi, tetapi memastikan mereka tetap sehat setelah bencana berlalu. Dengan respons cepat, layanan medis yang memadai, dan edukasi yang tepat, risiko penyakit bisa ditekan dan masa depan mereka tetap terlindungi.