Sedangkan dalam kepercayaan masyarakat Jawa, mereka berkeyakinan untuk tidak menikahkan anak-anaknya atau menggelar hajat pada 1 Suro karena dikhawatirkan akan berdampak buruk pada pernikahan tersebut di masa mendatang.
Itulah mengapa masyarakat Jawa sebagian besar menghindari menggelar hajatan pada bulan Suro atau Muharram. demi menjaga keselamatan, alih-alih menyelenggarakan pesta, masyarakat Jawa pun lebih dianjurkan untuk melakukan tirakatan atau mendekatkan diri pada Tuhan.
Selain itu, adanya larangan melakukan hajatan pada bulan Suro atau Muharram bulan tersebut dianggap bulan prihatin dan pilu oleh masyarakat Jawa lantaran pada bulan tersebut terjadi tragedi Karbala yang membuat cucu kesayangan Nabi SAW, yakni Husain Ali bin Abi Thalib tewas.
Akibat tragedi yang memilukan tersebut, kemudian muncul larangan untuk menggelar hajatan atau pernikahan pada Bulan Suro. Larangan tersebut sebagai bentuk suatu penghormatan atas meninggalnya cucu kesayangan Nabi SAW.
Pengamat Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Prof. Dr. Bani Sudardi, menilai orang Jawa umumnya salah dalam menganggap larangan menikah sepanjang bulan Suro.
Pasalnya anggapan ini berkembang dari perhitungan primbon selaki rabi. Pada dasarnya setiap boleh diperbolehkan menikah, tetapi memang ada beberapa tanggal dan hari yang dianggap pantangan.
Dengan begitu artinya, pernikahan yang dilakukan baik oleh Salshabilla Andriani dan Ibrahim Risyad maupun Chand Kelvin dan Dea Sahirah tidak melanggar larangan. Sebab, mereka menikah menurut syariat Islam yaitu dilakukan dengan akad.
Demikian ulasan mengenai hukum menikah pada 1 Suro menurut Jawa dan Islam yang perlu diketahui. Semoga informasi ini bermanfaat!
Kontributor : Ulil Azmi
Baca Juga: Tanpa Alas Kaki, Kaesang-Erina Ikut Kirab Pusaka Malam 1 Suro di Mangkunegaran