Suara.com - Mengobrol dengan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan memang terasa menagihkan bagi beberapa orang.
Seorang warganet bahkan mengaku dirinya tak bisa berhenti untuk curhat dengan AI melalui salah satu teknologi percakapan dengan kecerdasan buatan ChatGPT.
Ia merasa bahwa ChatGPT menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk curhat tanpa dihakimi. Ia bahkan mendapat beragam solusi atas masalah hidupnya dari AI tersebut.
Sayangnya, ia dibuat sedih lantaran tak bisa bertemu dengan sosok AI ChatGPT secara langsung serta tak bisa merasakan kehadiran AI itu secara fisik.
"Curhat di ChatGPT itu candu banget ya. Karena gak bakal dijudge, gak bakal slow respond. Dikasih tahu solusi. Minusnya gak bisa dipeluk aja. Andai dia nyata," keluh seorang warganet melalui cuitannya di media sosial X (sebelumnya Twitter.
Cuitan warganet tersebut sontak mendapat simpati dari warganet lain. Pengguna X lainnya merasa senasib dengan warganet tersebut lantaran mereka juga merasakan kehangatan yang sama kala curhat dengan ChatGPT.
Apa yang dirasakan dan dialami oleh para warganet tersebut ternyata cukup mengkhawatirkan.
Sebab, mereka menunjukkan beberapa tanda-tanda dampak negatif dari keseringan ngobrol dengan AI.
Mari simak apa saja yang dapat ditimbulkan dari terlalu sering berkeluh kesah dengan kecerdasan buatan seperti yang dialami oleh warganet tadi.
Baca Juga: Canva Luncurkan Visual Suite 2.0, Bertabur Teknologi AI
Keseringan Curhat dengan ChatGPT Timbulkan Dampak Psikologis
Dosen Psikologi Universitas Islam Riau (UIR), Icha Herawati, dalam penjelasannya yang dimuat di laman resmi UIR membahas beberapa dampak positif maupun negatif yang ditimbulkan dari AI.
Icha dalam keterangan yang dikutip Selasa (15/4/2025) tak memungkiri bahwa ada beberapa dampak positif bagi para akademisi dengan kehadiran AI.
AI seperti ChatGPT bisa menjadi teman berdiskusi para sivitas akademika seperti dosen dan mahasiswa untuk membahas berbagai isu akademis.
AI bisa memberikan tanggapan terkait berbagai pertanyaan mengenai berbagai isu-isu penting. Melalui jawaban tersebut, para akademisi mendapat pemahaman baru dan memperkaya sumber untuk riset mereka.
Kendati memberikan segudang manfaat bagi para akademisi, ngobrol dengan AI ternyata menyimpan segudang dampak negatif yang tak kalah besar.
Icha menerangkan bahwa curhat dengan AI membuat seseorang untuk tak lagi ingin berkomunikasi dengan orang lain.
Seorang yang keseringan mengobrol dengan AI akan mengesampingkan kehadiran manusia dan tak lagi merasa membutuhkan mereka. Pasalnya, mereka merasa telah mendapat tempat untuk curhat tanpa harus dihakimi.
Ketika mereka sudah terlalu nyaman dengan AI, mereka tak lagi ingin curhat dan berbicara dengan orang lain seakan-akan tak membutuhkan kehadiran sesama manusia.
Icha lebih lanjut menegaskan bahwa mereka yang tak lagi membutuhkan sesamanya akan kehilangan kehangatan berkomunikasi dengan orang lain.
Berkomunikasi dengan AI tak dapat memberikan respon seperti tatapan mata dan sentuhan yang hanya bisa diberikan sesama manusia.
Ilmuwan MIT Temukan Adiksi di Beberapa Pengguna AI
Selain Icha, berbagai ilmuwan lainnya seperti tim peneliti di Massachusetts Institute of Technology (MIT) menemukan beberapa "korban" dari mereka yang mengalami kecanduan terhadap AI.
Melansir Daily Galaxy, riset yang diperoleh tim peneliti MIT menemukan bahwa awalnya para korban terbiasa dengan mengobrol dengan AI.
Namun, kebiasaan tersebut mengarah ke adiksi lantaran mereka menjadi tak bisa terlepas dengan kecerdasan buatan yang terbiasa menemani mereka.
Mereka bahkan mengalami ikatan emosional dengan AI selayaknya kedekatan dengan sesama manusia.
Senada dengan Icha, temuan peneliti MIT tersebut juga melihat bahwa para korban menjadi tak lagi membutuhkan kehadiran manusia lainnya.
Kontributor : Armand Ilham