Sejarah TBC di Indonesia Hingga Jadi Negara Dengan Kasus Tuberkulosis Tertinggi di Dunia

Farah Nabilla Suara.Com
Jum'at, 09 Mei 2025 | 13:43 WIB
Sejarah TBC di Indonesia Hingga Jadi Negara Dengan Kasus Tuberkulosis Tertinggi di Dunia
Ilustrasi TBC - Tenaga kesehatan melakukan skrining tuberkulosis terhadap warga di Gelanggang Olahraga Otista, Jakarta, Kamis (9/2/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]

Suara.com - Indonesia menjadi salah satu negara tempat uji coba vaksin Tuberkulosis atau TBC yang dikembangkan oleh Bill Gates, pendiri Microsoft dan filantropis dunia.

Bill Gates memilih Indonesia sebagai bentuk komitmen dalam bidang kesehatan, mengeliminasi penyakit Tuberkulosis supaya tidak semakin berkembang.

Bill Gates menyampaikan komitmen pada Presiden Prabowo Subianto dalam misi meminimalkan penyebaran TBC saat berkunjung ke Istana Kepresidenan Jakarta pada, Rabu 7 Mei 2025.

Prabowo membenarkan bahwa kedatangan Bill Gates untuk membantu pemerintah dengan melakukan uji coba vaksin TBC.

“Terutama beliau sedang kembangkan vaksin TBC untuk dunia, Indonesia akan jadi salah satu tempat yang akan diuji coba”, paparnya.

Prabowo mempunyai tekad kuat meminimalkan efek tertular penyakit tersebut. Karena setiap tahun TBC menjangkiti 100 ribu orang.

Ia mengungkapkan bahwa Bill Gates berkomitmen memberikan bantuan penanggulangan TBC melalui vaksin.

“Dan beliau menunjukkan komitmen untuk terus bantu kita di bidang itu.

Angka korban yang terjangkit TBC di Tanah Air setiap tahun mengalami peningkatan 100 ribu orang. Tahun 2022, ada 724.000 orang, sedangkan tahun 2023 tembus 809.000 orang.

Baca Juga: Indonesia Jadi Tempat Uji Vaksin TBC Bill Gates, Menkes Ungkap 3 Alasan Penting Ini

Terlepas dari uji coba vaksin TBC, penyakit yang menyerang paru-paru tersebut sudah ada sejak zaman kerajaan maupun penjajahan. Setiap tahun mengalami peningkatan.

Sebenarnya bagaimana sejarah TBC bisa hadir memakan korban ratusan ribu orang? Apa saja sebab Indonesia menjadi negara 3 tertinggi dunia yang warganya terkena TBC? Berikut penjelasannya.

Sejarah TBC Serta Upaya Penanggulangan di Indonesia

Mengulik dari sumber tbindonesia.or.id, TBC termasuk salah satu jenis penyakit yang menyerang organ pernafasan sudah ada sejak zaman kerajaan.

Hal tersebut semakin menguat sejak ditemukan catatan tertua yang ada di salah satu bagian relief Candi Borobudur sejak abad 8 Masehi.

Bahkan, catatan masih terus berlanjut mulai masa penjajahan Hindia Belanda hingga tahun 2024, sekaligus upaya penanganannya.

     Tahun 1908

Pada masa tersebut mulai terbentuk organisasi atau perkumpulan Centrale Vereniging Voor Tuberculosis Bestrijding (CVT).

     Tahun 1939

Ada 15 sanatorium untuk merawat pasien TBC. Pendirian 20 consultatiebureau, bertujuan untuk tempat konsultasi, penyuluhan, pengobatan.

     Tahun 1945 - 1966 (Orde Lama)

Lembaga Pemberantasan Penyakit Paru-Paru telah didirikan di Yogyakarta. Selanjutnya tersebar pada 53 lokasi dengan nama Balai Pemberantasan Penyakit Paru-Paru.

Pada masa orde lama tepatnya tahun 1950, Jenderal Soedirman diketahui meninggal dunia karena sakit TBC.

     Tahun 1967 - 1994 (Orde Baru)

Masa orde baru, penanggulangan TBC berpindah ke Direktorat Jenderal Pemberantasan Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular melalui vaksin BCG.

Bahkan cara pemeriksaan pasien terkena TB semakin berkembang, yakni dengan memeriksa sampel dahak, kalau positif harus rutin pengobatan sampai 2 tahun.

Inovasi tersebut berlangsung dari tahun 1969 - 1973. Selanjutnya tahun 1976 - 1994, pengobatan pasien TBC lebih singkat, semula berlangsung 1 sampai 2 tahun, dimampatkan menjadi 6 bulan saja pakai strategi Directly Observed Treatment Short Course (DOTS), angka kesembuhan mencapai 85 persen.

     Tahun 1999 - 2021

Menteri Kesehatan membentuk Gerakan Terpadu Nasional (Gerdunas) TB pada 24 Maret 1999, yang merupakan awal mula kemitraan TB.

Langkah selanjutnya adanya pemberlakuan survei prevalensi TB nasional kolaborasi dengan Litbangkes Departemen Kesehatan RI pada tahun 2004.

Dua tahun kemudian, tepatnya 2006, untuk pertama kali mulai diadakan survei resistensi obat TB di Indonesia. Lanjut lagi dengan gebrakan baru pada tahun 2009, mulai menerapkan Program Nasional Pengendalian TB resisten obat.

Inovasi terus berlanjut dengan menggandeng swasta dalam penyediaan layanan TB kualitas terbaik. Sebut saja Public Private Mix dalam artian Jejaring Layanan Pemerintah Swasta , tahun 2010.

Tahun 2013 sampai 2014, Indonesia berhasil meraih MGDs Award, karena adanya survei prevalensi TB nasional, memakai metode sangat sensitif hasil rekomendasi WHO.

Masih berada di tahun yang sama, program Germas mulai dijalankan, guna penemuan pasien TB, lalu melakukan pengobatan secara tepat.

Selanjutnya sejak tahun 2015 sampai 2019, masuk menjadi salah satu target penting Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan menjadi program prioritas Presiden.

Saat masuk masa pandemi Covid-19 pada tahun 2020,  Kementerian Kesehatan mengeluarkan protokol layanan TBC.

Kemudian saat peringatan HUT RI ke-76, Presiden Republik Indonesia, Ir.Joko Widodo, telah menandatangani Peraturan Presiden No.67 Tahun 2021, berkaitan dengan penanggulangan Tuberkulosis.

Sebab Indonesia Menjadi Negara Ketiga Tertinggi TBC

TBC menurut sumber klinikparu.banyumaskab.go.id, termasuk penyakit menular karena bakteri Mycobacterium Tuberculosis.

Obat penyakit tersebut sudah tersedia luas, namun masih menjadi permasalahan serius, termasuk Indonesia.

Negara tercinta ini memiliki beban penderita TBC tertinggi di dunia. Bahkan menurut catatan WHO, Indonesia berada pada posisi tiga dunia setelah India dan Tiongkok, diperkirakan setiap tahun ada 800.000 orang mengidap TBC

Tingginya angka tersebut, karena dua penyebab utama berikut ini:

     Padat penduduk

Daerah perkotaan umumnya mempunyai jumlah penduduk padat, sehingga peluang tertular semakin mudah. Apalagi adanya ventilasi buruk, ruangan sempit, kondisi lingkungan kotor, dapat memperparah keadaan.

     Keadaan sosial ekonomi

TBC seringkali menyerang individu atau sekelompok masyarakat berpenghasilan rendah, yang mana biasanya berkorelasi dengan ketidakmampuan mendapat pelayanan kesehatan berkualitas dan gizi buruk.

     Kesadaran kurang

Banyak sekali individu yang belum paham gejala dan bahaya TBC, berujung pada terlambat penangan serta pengobatan. Akhirnya menjadi resistensi terhadap obat.

Kontributor : Damayanti Kahyangan

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI