Ketika Warung Pecel Lele Bertemu Streetwear: Cara Jakarta Merayakan Budayanya Sendiri

M. Reza Sulaiman Suara.Com
Rabu, 29 Oktober 2025 | 06:05 WIB
Ketika Warung Pecel Lele Bertemu Streetwear: Cara Jakarta Merayakan Budayanya Sendiri
Carhartt Work In Progress jadi toko fesyen yang menjelma jadi titik temu budaya. (dok. Carhartt)
Baca 10 detik
  • Jakarta tak pernah berhenti bereksperimen: dari ruang musik independen, galeri seni kontemporer, hingga toko fesyen yang menjelma jadi titik temu budaya.

Suara.com - Di tengah hiruk pikuk lalu lintas dan ritme hidup yang kian cepat, Jakarta selalu punya cara unik untuk merayakan dirinya. Kota ini tak pernah berhenti bereksperimen: dari ruang musik independen, galeri seni kontemporer, hingga toko fesyen yang menjelma jadi titik temu budaya.

Kini, satu nama global ikut membaca denyut itu, Carhartt Work In Progress (WIP), dengan membuka gerai utamanya di Plaza Senayan, sekaligus membawa pendekatan baru terhadap cara sebuah brand berinteraksi dengan masyarakat urban.

Beberapa tahun terakhir, wajah Jakarta memang berubah. Di antara mural, kedai kopi, dan dentuman musik dari kolektif lokal, terbentuk ruang sosial baru di mana fesyen, musik, dan seni berjalan beriringan.

Kehadiran Carhartt WIP di kota ini menjadi semacam penegasan bahwa lanskap kreatif Jakarta sudah cukup matang untuk berbicara dengan bahasa global, tanpa kehilangan identitas lokalnya.

Ruang Baru untuk Budaya Urban

Gerai baru Carhartt WIP seluas 121 meter persegi ini dirancang oleh Salomée Faeh bersama studio arsitektur Andrea Caputo dari Milan. Hasilnya bukan sekadar toko, melainkan ruang yang menyatukan warisan workwear yang tangguh dengan estetika industrial modern.

Panel kayu vertikal dan lempengan marmer berurat berpadu menciptakan suasana hangat namun tegas, senada dengan karakter keras sekaligus terbuka milik Jakarta.

Brand Manager Carhartt WIP Indonesia, Riri Nahar, menyebut kota ini memiliki energi yang khas.

“Jakarta adalah ibu kota sekaligus pusat budaya dan ekonomi Indonesia. Komunitas kreatif dan subkultur di sini tumbuh sangat cepat, mulai dari musik, seni, hingga street culture. Karakter ini sangat sejalan dengan DNA Carhartt WIP,” ujarnya.

Baca Juga: Pandai Minta Maaf, tapi Nggak Pandai Berubah, Cermin Budaya Kita?

Merayakan Identitas Lewat Pecel Lele

Namun yang paling menarik dari pembukaan toko ini bukan desainnya, melainkan cara Carhartt WIP memilih untuk berkenalan dengan warga Jakarta lewat Warung Carhartt WIP.
Pop-up kuliner yang digelar pada 2–4 Oktober 2025 itu menghadirkan reinterpretasi dari warung pecel lele, ikon kuliner jalanan yang lekat dengan keseharian masyarakat kota.

“Konsep Warung Carhartt WIP berawal dari ide saat kami merancang City Pack untuk pembukaan di Jakarta. Ada pepatah yang mengatakan, untuk menyentuh hati seseorang, mulailah dari perutnya. Dan rasanya inilah interpretasi yang paling tepat,” ujar Riri.

Ia menambahkan, budaya warung pecel yang sederhana namun hangat mencerminkan semangat inklusif Jakarta. “Kami ingin menghadirkan reinterpretasi kuliner jalanan ini sebagai bagian dari cerita baru perjalanan Carhartt WIP di Jakarta, sebuah awal yang humble, otentik, namun tetap relevan,” katanya.

Ketika Fesyen, Musik, dan Makanan Saling Menyapa

Perayaan pembukaan toko juga melibatkan musik dan komunitas kreatif. Kolektif DJ Warmsin asal Bali tampil dalam suasana yang santai, ditemani sajian craft beer lokal. Momen itu memperlihatkan bagaimana Carhartt WIP berusaha masuk ke ekosistem budaya Jakarta bukan dari sisi komersial, melainkan lewat kolaborasi sosial dan pengalaman bersama.

Di sela acara, diluncurkan juga Jakarta Capsule Collection, lini eksklusif yang terinspirasi dari visual spanduk warung makan khas ibu kota. Tipografi sederhana yang biasa terlihat di pinggir jalan kini diterjemahkan menjadi simbol urban baru, mempertautkan gaya global dengan estetika lokal yang jujur.

Gaya Hidup yang Berakar

Hadirnya Carhartt WIP di Jakarta menunjukkan bagaimana kota ini terus tumbuh sebagai episentrum budaya urban Asia Tenggara. Di sini, globalisasi tidak lagi berarti kehilangan jati diri, melainkan menemukan cara baru untuk menafsirkannya.

Warung pecel lele, musik kolektif, hingga detail arsitektur toko menjadi penanda bahwa Jakarta punya bahasa budaya yang khas, keras, hangat, spontan, dan selalu terbuka untuk dialog. Melalui ruang ini, Jakarta sekali lagi membuktikan bahwa budaya lokal bukan sesuatu yang harus disesuaikan dengan dunia, tetapi sesuatu yang justru membuat dunia menoleh.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI