Pertama, kata Korneles, peristiwa itu sangat erat dengan konflik kepentingan. Apalagi, turut disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang administrasi Pemerintahan dan Peraturan KPK Nomor 5 Tahun 2019 tentang pengelolaan benturan kepentingan di KPK.
"Pada dasarnya menjelaskan bahwa konflik kepentingan terjadi saat keputusan yang diambil oleh seorang pejabat publik berkaitan erat dengan kepentingan pribadi atau kelompok. Sehingga berpengaruh terhadap netralitas keputusan itu," jelasnya.
"Penjelasan ini membuat pelanggaran yang dilakukan Firli semakin terang. Sebab, pihak yang ditunjuk dan diberikan penghargaan merupakan istrinya sendiri," ujarnya.
Selanjutnya, Korneles menduga bahwa Firli tidak mendeklarasikan adanya dugaan konflik kepentingan dalam penciptaan Hymne KPK kepada pimpinan lainnya maupun Dewas KPK. Maka itu, peristiwa ini juga menggambarkan ketiadaan mekanisme check and balance di internal KPK.
"Deklarasi tersebut diatur dalam Perkom 5/19 yang isinya mewajibkan setiap Insan KPK untuk memberitahukan kepada atasannya,"katanya.
“Kami juga mengkhawatirkan adanya dominasi peran Firli dalam pengambilan kebijakan lembaga, yang membuat seolah menghapus prinsip kolektif kolegial dari sisi kepemimpinan di KPK," katanya.