Masyarakat yang hidup dalam kecukupan harta banyak didambakan oleh sebagian orang. Mereka beranggapan dengan mempunyai harta akan lebih banyak pilihan dalam hidup, menaikkan status sosial, serta tidak dipandang remeh oleh orang lain. Namun sebaliknya, dengan hidup dalam kondisi yang serba terbatas dalam kepemilikan harta, membuat pilihan hidup juga terbatas, bahkan sebagian akan minder dengan keterbatasan yang dialami. Kondisi ini acapkali dinamakan “miskin”.
Dalam konteks keilmuan, sebagaimana dikatakan ahli ekonomi yaitu Artkinson dan Bourguinon, mereka mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakcukupan kekuatan untuk mengakses sumber daya ekonomi. Dia yang miskin adalah manusia yang selalu mendapat kesempatan paling akhir, baik karena faktor di luar dirinya atau karena faktor mentalitas yang berasal dari dalam dirinya sendiri.
Kemiskinan memiliki dampak muliti dimensi, bukan hanya dimensi ekonomi saja tetapi juga dimensi lain seperti kesehatan dan pendidikan. Dengan demikian membiarkan kemiskinan akan membawa “blunder” dalam pembangunan, karena akan menimbulkan rentetan masalah baru seperti angka kematian yang tinggi, meningkatnya angka kriminalitas, dan tertutupnya akses pendidikan. Hal ini tentu saja berlawanan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB) atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Sustainable Development Goals (SDGs), yang berusaha mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk di manapun.