Suara.com - Peringatan baru dari lembaga warisan budaya Meksiko menarik perhatian publik setelah ditemukan tanda-tanda pertumbuhan jamur pada salah satu mumi terkenal dari Guanajuato.
Temuan ini memicu kekhawatiran bahwa pengunjung yang datang untuk melihat mumi tersebut dapat terpapar spora jamur yang berpotensi berbahaya. Para pakar kini menyoroti perlunya penanganan lebih serius terhadap koleksi mumi yang selama ini menjadi daya tarik wisata.
Mengutip Earth.com (2/12/2025), isu ini mencuat setelah Institut Nasional Antropologi dan Sejarah (INAH), lembaga yang mengawasi konservasi benda arkeologis di Meksiko, mendapati adanya bercak yang diduga merupakan jamur hidup pada sebuah mumi yang dipamerkan dalam tur tahun 2023.
Keadaan ini memunculkan pertanyaan apakah kotak kaca yang digunakan sebagai pelindung benar-benar mampu menahan penyebaran spora ke area sekitar pengunjung.
Mumi-mumi Guanajuato merupakan koleksi jenazah dari abad ke-19 yang terawetkan secara alami, bukan melalui proses mumifikasi seperti yang dilakukan pada raja-raja Mesir.
Mayat-mayat tersebut mengering dalam kondisi tanah yang kering, kaya mineral, serta berada dalam ruang makam yang tertutup rapat. Faktor-faktor tersebut memperlambat proses pembusukan dan membuat rambut, kulit, hingga pakaian mereka tetap utuh.
Awal keberadaan koleksi ini bermula pada tahun 1860-an. Ketika itu, jenazah yang keluarganya tidak mampu membayar biaya pemakaman kembali digali dari makam. Alih-alih menemukan tulang belulang, para penggali menemukan tubuh yang masih sangat terjaga kondisinya.
Penemuan itu menarik rasa penasaran warga hingga akhirnya berkembang menjadi tontonan wisata. Beberapa mumi bahkan dipamerkan secara tegak dalam kotak kaca, lengkap dengan ekspresi wajah dan pose yang menciptakan nuansa menyeramkan.
Selama bertahun-tahun, konsep pameran seperti ini menuai kritik karena dianggap tidak menghormati jenazah yang asalnya merupakan warga biasa.
Baca Juga: Dinding Rumah Berjamur? Ini 5 Cat Eksterior Anti Jamur dan Anti Panas
Namun kini, kritik bergeser pada potensi risiko kesehatan. Jamur yang tampak pada salah satu mumi memunculkan kekhawatiran bahwa pengunjung bisa menghirup spora berbahaya—terutama karena jamur mudah tumbuh pada bahan organik di kelembapan sedang.
Penelitian sebelumnya pada mumi Mesir dan Amerika Selatan menunjukkan bahwa beberapa jenis jamur yang tumbuh pada tubuh terawetkan dapat menghasilkan mikotoksin, zat kimia beracun yang berpotensi merusak sel tubuh manusia bila terhirup atau tersentuh.
Mikotoksin telah ditemukan dalam studi laboratorium pada kain pembungkus mumi, menunjukkan adanya risiko paparan bagi mereka yang bekerja dalam jarak dekat dengan materi terkontaminasi.
Di museum, jamur serupa dapat merusak bahan organik seperti kayu, kertas, dan tekstil, bahkan berpotensi menimbulkan alergi atau infeksi bagi staf yang terpapar setiap hari.
Sejumlah kisah tentang “kutukan makam” juga sering kali berakar pada fakta biologis. Pada tahun 1970-an, saat peti Raja Casimir IV di Polandia dibuka, 10 dari 12 orang yang berada di lokasi meninggal dalam beberapa tahun kemudian. Penelitian menemukan adanya jamur Aspergillus flavus—jenis yang dapat menghasilkan toksin berbahaya—di dalam ruang tersebut.
Temuan serupa dalam survei kripta bawah tanah mengungkap tingginya konsentrasi spora di ruang tertutup. Para pekerja yang memasuki ruang seperti itu berisiko mengalami gangguan pernapasan, terutama mereka yang memiliki asma atau sistem imun lemah.
Meskipun lingkungan museum biasanya lebih terkontrol, hal itu tidak otomatis menghilangkan risiko. Mengutip Earth.com (2/12/2025), sebuah studi di museum Eropa menemukan jenis jamur xerophilic—jamur yang justru menyukai lingkungan sangat kering—dapat tumbuh pada artefak meskipun kelembapan ruangan dijaga rendah. Hal ini menunjukkan bahwa permukaan mumi yang kering bukan jaminan bebas dari kontaminasi jamur.
Mengutip Earth.com (2/12/2025), para ahli menilai bahwa risiko bagi pengunjung biasa yang hanya menghabiskan beberapa menit di dekat mumi tergolong rendah. Sistem kekebalan tubuh manusia umumnya mampu menangani paparan jamur sehari-hari.
Namun resikonya lebih tinggi bagi pekerja museum, pemandu wisata, dan konservator yang terpapar berulang kali dalam jangka panjang.
Pengunjung dengan kondisi kesehatan tertentu—seperti asma atau imunitas rendah—juga lebih rentan bila harus berada di ruang yang menyimpan mumi terkontaminasi.
Di luar aspek kesehatan, kontroversi ini kembali menyoroti pertanyaan etis mengenai cara memperlakukan jenazah manusia dalam konteks wisata. Para ilmuwan konservasi berpendapat bahwa perlindungan terhadap mumi tidak hanya penting demi melestarikan sejarah, tetapi juga untuk memastikan keselamatan publik.
Mereka merekomendasikan peningkatan pengaturan suhu dan kelembapan, penggunaan kotak penyimpanan yang lebih aman, perlindungan bagi staf, serta pengawasan kualitas udara di sekitar mumi.
Langkah-langkah ini telah diterapkan di sejumlah museum yang menyimpan mumi Mesir dan dinilai efektif membatasi pertumbuhan jamur.
Kontributor : Gradciano Madomi Jawa