Suara.com - Bagi para pecinta kopi tentu pantang melewatkan kopi khas Cianjur, Jawa Barat, yakni kopi Sarongge. Kopi yang ditanam di kaki Gunung Gede itu bukanlah sekadar kopi biasa pada umumnya.
Sarongge adalah nama sebuah kampung di kaki Gunung Gede yang berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Cianjur. Di sana pohon-pohon kopi ditanam di ketinggian 1.000-1.600 mdpl.
Tosca Santoso, sang inisiator kopi Sarongge telah sukses membina para petani di kampung kecil itu. Tak hanya sekadar menanam pohon-pohon kopi, Tosca telah membantu menyukseskan pogram reforestasi di lahan tersebut.
Jauh sebelum mengelola kebun kopi, Tosca punya sejarah pajang sebagai seorang jurnalis. Ia juga menjadi salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Berikut kisah singkat perjalanan Tosca Santoso dalam membangun kopi Sarongge yang menggetarkan lidah para pecinta kopi.
Kisah Petani Kembalikan Hutan
Bukit-bukit di atas kampung Sarongge itu, kini terlihat rindang. Rasamala, puspa, saninten, suren, ki hujan, tumbuh berdampingan. Sebagian sudah 20 meter tingginya. Pakis purba muncul di sana-sini, tanpa pernah ada yang menanam. Tanda hutan mulai pulih. Udara segar.
Banyak satwa mendatangi hutan kecil, yang dua belas tahun lalu, masih berupa kebun sayur. Dua belas tahun. Waktu yang lama untuk menunggu. Tapi berharga untuk dijalani, ketika hasilnya adalah hutan yang kembali. Saya terlibat bersama masyarakat Sarongge, memulihkan hutan di kaki Gunung Gede. Di area yang termasuk dalam Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Ikhtiar yang perlu dicatat.
Tiga punggungan bukit kecil itu, dinamai : Pasir Leutik, Pasir Tengah dan Pasir Kidul. Luasnya sekira 38 ha.Bertahun-tahun, petani Sarongge mengolahnya untuk kebun sayur. Sejak area itu masih di bawah Perhutani. Ada 150 keluarga yang menggantungkan hidup di sana, dengan menanam sawi, kol, brokoli dan sayur lain.
Baca Juga: Pakai Wadah Botol, AAN Siram Istri Pakai Air Keras hingga Jatuh dari Motor

Tahun 2008, saya jumpa petani-petani itu, dan mengajak mereka menghutankan kembali kebun sayurnya. Karena bukit-bukit itu telah jadi bagian dari taman nasional, yang menurut aturan tak boleh ditanami sayur. Presiden Megawati Soekarnoputri mengubah status lahan di kaki gunung itu, dari Perhutani ke TN Gunung Gede Pangrango pada 2003.
“Jadi kami akan diusir?” gugat Dudu Duroni, ketua kelompok tani. Pada pertemuan pertama kami di madrasah kampung itu. Saya sedang jelaskan tentang program adopsi pohon. Selama tiga tahun pertama, pohon endemi ditanam, petani masih boleh tanam sayur di sela bibit pohon hutan. Kalau pohonnya makin tinggi, sayur tak cocok lagi. Ini dengan lugas ditangkap Dudu, sebagai cara mengusir petani.
Saya berhenti menjelaskan adopsi pohon. Kabut turun tiap sore dari kaki Gede. Juga pada hari pertemuan itu. Bercampur rupa-rupa asap rokok yang memenuhi madrasah. Kami bercerita sana-sini. Tak fokus lagi pada tema pertemuan. Salah satunya adalah pertanyaan,” Berapa penghasilan berkebun di kaki gunung itu?” Dudu menyebut angka.
Saya menawarkan, “kalau penghasilan dari usaha lain lebih besar dari itu, apa mau turun dari gunung?”
“Mau,” jawab Dudu cepat. Bertani di gunung itu mahal ongkosnya. Pupuk harus diangkut ke gunung. Biaya panen lebih tinggi. Mereka terpaksa bertani di sana, hanya karena tak punya lahan lain.
Maka program adopsi pohon – yaitu petani menanam pohon endemi di area yang akan dihutankan, dengan dana sumbangan dari pengadopsi pohon; sedikit kami modifikasi. Petani turun dari gunung, bukan ditarget waktunya. Tetapi kalau penghasilan lain sudah lebih tinggi dibanding berkebun di gunung.

Sejak pertemuan itu, kami rajin mengumumkan program adopsi pohon di Green Radio – radio dengan perspektif lingkungan yang dulu mengudara di Jakarta. Sekarang sudah mati-. Kami ajak pendengar ikut mengadopsi pohon. Rp 108 rb/pohon. Bisa ditanam sendiri atau ditanam oleh petani. Lalu pohon itu ditandai dengan GPS. Supaya pengadopsi tahu di mana lokasi pohonnya. Dan kalau mereka sempat, dapat menengok kapan saja.