Walau tidak menyangkut perilaku penonton, keterlambatan tim tetap dipandang sebagai pelanggaran terhadap tata tertib pertandingan internasional.

Jika dilihat dari dua kasus ini, tampak bahwa Indonesia harus lebih tegas dalam menerapkan aturan dan pengawasan baik terhadap pemain maupun suporter.
Dalam konteks sepak bola modern, profesionalisme tidak hanya diukur dari performa tim di lapangan, tetapi juga dari cara seluruh elemen dalam pertandingan menjaga etika dan disiplin.
PSSI selaku federasi nasional harus lebih aktif
mensosialisasikan pentingnya menjaga reputasi negara di pentas internasional. Suporter sebagai elemen vital pendukung tim juga diharapkan bisa menunjukkan semangat positif dan menjunjung tinggi sportivitas.
Karena meskipun hanya sebagian kecil yang melakukan pelanggaran, dampaknya bisa sangat merugikan secara keseluruhan.
Di tingkat global, FIFA telah lama menyatakan komitmennya dalam memberantas segala bentuk diskriminasi, termasuk rasisme, xenofobia, dan intoleransi.
Kampanye bertema "Say No to Racism" yang digaungkan sejak awal 2000-an merupakan bukti bahwa mereka tidak akan mentolerir perilaku yang mencederai nilai kebersamaan dalam olahraga.
Sanksi terhadap Indonesia mempertegas bahwa FIFA akan terus menindak tegas siapa pun yang melanggarnya.
Baca Juga: Persib Hampir Terpeleset, Barito Putera Sukses Unjuk Gigi di Bandung
Kini, dengan laga penting menghadapi China di depan mata, Timnas Indonesia memiliki pekerjaan rumah besar.
Selain mempersiapkan strategi permainan, semua pihak harus memastikan kejadian serupa tidak terulang.
Stadion sebagai ruang publik seharusnya menjadi tempat yang aman, ramah, dan terbuka bagi siapa saja, terlepas dari asal, ras, atau latar belakang.
Dengan catatan dua sanksi ini, Indonesia perlu memperbaiki sistem pengamanan pertandingan, pelatihan etika bagi pemain dan ofisial, serta edukasi bagi suporter.
Hal ini penting bukan hanya demi lolos ke putaran final Piala Dunia 2026, tetapi juga demi menjaga martabat sepak bola Indonesia di mata dunia.