Simon Tahamata ke Media Belanda: Ini Halaman Gelap yang Lebih Baik Ditinggalkan

Kamis, 22 Mei 2025 | 17:49 WIB
Simon Tahamata ke Media Belanda: Ini Halaman Gelap yang Lebih Baik Ditinggalkan
Simon Tahamata baru saja diumumkan menjadi Kepala Pemandu Bakat Timnas Indonesia. Dia bukan orang sembarangan di sepak bola Belanda. [Dok Pribadi]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Simon Tahamata baru saja diumumkan menjadi Kepala Pemandu Bakat Timnas Indonesia. Dia bukan orang sembarangan di sepak bola Belanda.

Simon Tahamata dikenal sebagai mantan pemain Timnas Belanda yang pernah memperkuat klub-klub papan atas seperti Ajax Amsterdam dan Feyenoord Rotterdam.

Kiprahnya yang cemerlang menjadikannya panutan dan simbol keberhasilan diaspora Maluku di Belanda.

Resmi! Simon Tahamata Kepala Pemandu Bakat Timnas Indonesia (PSSI)
Resmi! Simon Tahamata Kepala Pemandu Bakat Timnas Indonesia (PSSI)

Namun, di balik karier gemilangnya, Simon juga dikenal memiliki keterikatan kuat dengan akar identitasnya sebagai orang Maluku.

Ia kerap dikaitkan dengan organisasi Republik Maluku Selatan (RMS), yang memiliki sejarah panjang dalam pergerakan politik di era pascakemerdekaan Indonesia.

Latar Belakang Keluarga dan Asal Usul Maluku

Simon Tahamata lahir pada 26 Mei 1956 di Kamp Vught, sebuah barak militer di Belanda yang menjadi tempat penampungan bagi keluarga-keluarga Maluku pasca-pembubaran KNIL.

Ayahnya, Lambert Tahamata, merupakan mantan tentara KNIL yang dipindahkan ke Belanda setelah konflik di Indonesia mereda.

Sementara sang ibu, Octovina Leatemia, memainkan peran penting dalam membesarkan dua belas anak di tengah situasi sosial yang tidak mudah.

Baca Juga: Skuat Timnas Indonesia vs China dan Jepang Kegemukan? Sumardji: Itu Pilihan Kluivert

Rumor kedatangan legenda sepak bola Ajax Amsterdam, Simon Tahamata, ke jajaran Timnas Indonesia tengah menjadi sorotan publik sepak bola nasional. (IG Simon Tahamata)
Rumor kedatangan legenda sepak bola Ajax Amsterdam, Simon Tahamata, ke jajaran Timnas Indonesia tengah menjadi sorotan publik sepak bola nasional. (IG Simon Tahamata)

Pada usia lima tahun, keluarganya pindah ke kota kecil Tiel. Di sinilah Simon mulai mengenal dunia luar dan perlahan menyadari posisi identitasnya sebagai keturunan Maluku di negara yang sering kali tidak memberikan ruang bagi sejarah komunitasnya.

Ketika beranjak remaja, Simon mulai menyadari bahwa banyak orang mengira dirinya berasal dari Suriname.

Ketidaktahuan masyarakat Belanda terhadap identitas orang Maluku membuat Simon terdorong untuk lebih vokal dalam menyuarakan asal-usulnya.

Pada usia 19 tahun, ia mulai menunjukkan keterbukaan terhadap gerakan RMS dan pentingnya memperjuangkan eksistensi budaya serta sejarah komunitasnya.

Kiprah Sosial dan Kritik terhadap Pemerintah Belanda

Simon Tahamata, legenda Ajax dan Belanda asal Indonesia saat bermain dalam laga eksibisi antara eks Ajax Amsterdam dan Real Madrid. [Dok. Ig/@simon_tahamata_]
Simon Tahamata, legenda Ajax dan Belanda asal Indonesia saat bermain dalam laga eksibisi antara eks Ajax Amsterdam dan Real Madrid. [Dok. Ig/@simon_tahamata_]

Simon Tahamata dikenal bukan hanya sebagai atlet berprestasi, tetapi juga sebagai sosok yang tak ragu menyampaikan pendapatnya terhadap isu-isu sosial.

Ia secara terbuka menyampaikan keprihatinan terhadap bagaimana sejarah komunitas Maluku nyaris terlupakan dalam buku-buku sejarah Belanda. Menurutnya, pengorbanan para prajurit KNIL yang dulu membela Belanda justru diabaikan begitu saja pasca perang berakhir.

"Saya harus menunjukkan warna asli saya pada tahun 1977. Sebelumnya, banyak orang mengira saya orang Suriname. Saya memperkenalkan diri di media dan di dunia sepak bola sebagai orang Maluku dan saya katakan bahwa saya bersimpati terhadap tindakan orang Maluku," kata Simon Tahamata ke media AD.NL 2007 silam.

"Saya merasa saya harus bersuara. Sejarah kita, nasib orang Maluku, masih belum atau hampir tidak disebutkan dalam buku-buku sejarah Belanda. Ini adalah halaman gelap yang lebih baik ditinggalkan. Itulah sebabnya saya terus menceritakan kisah itu, bahkan empat puluh tahun kemudian."

Salah satu momen penting yang menandai ketegangan antara komunitas Maluku dan pemerintah Belanda adalah peristiwa pembajakan kereta api tahun 1977.

Aksi tersebut dilakukan oleh sekelompok pemuda Maluku sebagai bentuk protes terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil.

Simon menyatakan bahwa ia memahami emosi dan dorongan di balik tindakan tersebut, bahkan merasa bahwa dirinya pun bisa saja ikut dalam gerakan itu jika keadaan hidupnya berbeda.

Komitmen Simon terhadap isu-isu Maluku tidak berhenti di situ.

Setiap tanggal 25 April, ia rutin menghadiri acara di Den Haag untuk memperingati deklarasi berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS) yang diproklamasikan pada 1950.

Bagi Simon, kehadirannya dalam momen tersebut adalah bentuk penghormatan terhadap para leluhur yang telah berjuang demi tanah air leluhurnya.

Pengaruh untuk Generasi Mendatang

Dalam media itu, Simon Tahamata juga mengatakan percaya bahwa perjuangan identitas tidak boleh berhenti pada generasi dirinya saja.

Ia mengajak generasi ketiga dan keempat keturunan Maluku untuk terus mempelajari sejarah dan bersiap membangun masa depan yang lebih baik.

Menurutnya, penting bagi anak-anak keturunan Maluku di Belanda untuk tumbuh dengan pemahaman yang kuat terhadap asal-usul mereka, serta semangat untuk terus menjaga nilai-nilai budaya leluhur.

Meski Simon menyadari bahwa impiannya melihat RMS menjadi kenyataan mungkin tidak terjadi dalam hidupnya, ia tetap optimis bahwa suatu saat akan tiba masa di mana generasi penerus bisa mewujudkannya.

Ia meyakini bahwa perjuangan identitas harus diwariskan, bukan dilupakan.

Karier Gemilang dan Kiprah di Dunia Kepelatihan

Simon baru resmi menjadi warga negara Belanda pada 1976, setelah bertahun-tahun hidup tanpa status kewarganegaraan yang jelas.

Namun, hal itu tak menghalanginya untuk mengukir prestasi di dunia sepak bola. Selama 17 tahun (1979–1996), ia menjadi bagian dari Timnas Belanda dan menunjukkan performa gemilang di berbagai ajang internasional.

Di level klub, Simon dikenal sebagai pemain sayap atau gelandang serang yang memiliki kecepatan dan kreativitas luar biasa.

Selain Ajax dan Feyenoord, ia juga membela klub-klub elite Eropa lainnya, meninggalkan jejak sebagai salah satu pemain terbaik di masanya.

Setelah gantung sepatu, Simon memilih jalur kepelatihan dengan fokus utama pada pembinaan pemain muda. Ia mengabdi di akademi Ajax Amsterdam, Standard Liege (Belgia), hingga Germinal Beerschot.

Perjalanannya juga membawanya ke Timur Tengah, di mana ia menangani tim usia muda Al Ahli (2009–2014). Tak berhenti di situ, ia mendirikan Simon Tahamata Soccer Academy pada 2014, sambil tetap aktif berkontribusi dalam pengembangan bakat di akademi Ajax.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI