Suara.com - Parma resmi menunjuk Carlos Cuesta sebagai pelatih kepala baru mereka pada Jumat (20/6/2025).
Cuesta akan menggantikan Cristian Chivu yang hengkang di akhir musim dan berlabuh ke Inter Milan.
Uniknya, posisi itu menjadikan sosok asal Spanyol tersebut sebagai pelatih termuda dalam sejarah Liga Italia pada usia 29 tahun.
"Parma Calcio dengan senang hati mengumumkan bahwa, mulai 1 Juli, Carlos Cuesta akan menjadi pelatih tim utama putra," demikian pernyataan resmi klub dikutip dari laman Parma.
Bersama Gialloblu, Cuesta diikat kontrak berdurasi dua tahun.
I
a bergabung ke Parma dari Arsenal, tempat ia sempat menjabat sebagai asisten pelatih Mikel Arteta sejak 2020.
Sebelumnya, ia juga sempat melatih tim muda Juventus selama dua tahun.
Pelatih kelahiran Mallorca yang akan genap berusia 30 tahun pada Juli ini, juga menjadi pelatih termuda yang aktif di antara seluruh pelatih liga top Eropa (Inggris, Spanyol, Italia, Jerman, dan Prancis).
Baca Juga: Pilihan Terjal Emil Audero, Tetap di Serie A Jadi Kiper Cadangan atau Inti di Serie B
Parma baru saja kembali promosi ke strata tertinggi Liga Italia dan sempat terpuruk di peringkat ke-18 saat Cristian Chivu ditunjuk sebagai pelatih pada Februari.
Dalam 13 pertandingan perdananya sebagai pelatih tim senior, Chivu mencatat tiga kemenangan, tiga kekalahan, dan tujuh hasil imbang, yang cukup untuk membawa Parma bertahan di posisi ke-16 klasemen akhir Serie A.
Chivu kemudian meninggalkan Parma untuk kembali ke Inter Milan, klub tempat ia pernah bermain selama enam musim.
Carlos Cuesta disebut-sebut media Italia mengungguli sejumlah kandidat pelatih asal Italia seperti Daniele De Rossi, Alberto Gilardino, dan Paolo Vanoli.
Musim baru Liga Italia akan dimulai pada 23 Agustus, namun Cuesta merupakan pelatih kesembilan yang ditunjuk klub Liga Italia pada musim panas ini.
Saat ini, masih ada dua dari 20 klub Liga Italia yang belum memiliki pelatih kepala.
Di sisi lain, sepak bola Italia sendiri tak bisa dilepaskan dari sederet pelatih muda.
Bahkan Timnas Itala pun menunjuk Gennaro Gattuso sebagai pelatih.
Hampir dua dekade setelah kesuksesannya mengangkat trofi Piala Dunia 2006 bersama timnas Italia, Gattuso kembali ke pusat panggung.
Tapi kali ini perannya bukan sebagai gelandang perusak serangan lawan, melainkan sebagai pelatih kepala yang diberi tanggung jawab untuk membangun kembali Azzurri — timnas Italia — yang tengah terluka dan membutuhkan cahaya harapan.
Gattuso bukan nama biasa. Sosoknya melambangkan determinasi, loyalitas, dan kerja keras tanpa kenal menyerah.
Bersama AC Milan, Gattuso merengkuh dua trofi Liga Champions dan dua gelar Serie A, menjadi pilar penting dari era emas Rossoneri yang disegani di Eropa.
Selain di level klub, Gattuso juga menjadi bagian penting dari skuad Italia yang sukses menjadi yang terbaik di Piala Dunia 2006.
Dalam tim tersebut, Gattuso bergandengan erat bersama Andrea Pirlo — satu diberkahi visi dan kreativitas, satu lagi diberkahi tenaga dan semangat pantang menyerah — sebuah kombinasi yang sulit diberhentikan oleh lawan.
Usai gantung sepatu pada 2013, Gattuso tak langsung mencapai puncak karier kepelatihan.
Langkahnya dimulai dari bawah, melatih Sion di Liga Super Swiss, kemudian OFI Crete di Yunani, dan Pisa — yang saat itu tengah bergelut di Serie C — lalu mampu dibawanya promosi ke Serie B, meskipun dengan sumber daya yang serba terbatas.
Ketika kembali ke AC Milan, Gattuso memang tak memberikan gelar, tetapi kepemimpinannya mampu menjaga stabilitas ruang ganti dan menjaga motivasi para pemain.
Keberhasilannya yang paling tampak terjadi saat melatih Napoli, saat Gattuso mampu membawa tim tersebut menjadi juara Piala Italia 2020.