Potensi Sepak Bola Grassroot, Tak Hanya Jaring Talenta tapi Dorong Industri Olahraga

Arief Apriadi Suara.Com
Senin, 04 Agustus 2025 | 17:27 WIB
Potensi Sepak Bola Grassroot, Tak Hanya Jaring Talenta tapi Dorong Industri Olahraga
Sebuah ilustrasi yang menggambarkan sekelompok anak-anak bermain sepak bola di lapangan terbuka saat matahari terbenam. Mereka tampak bersemangat, berlari mengejar bola dengan ekspresi gembira. (unsplash.com/@bhongbahala10)

Suara.com - Sepak bola tak hanya menjadi olahraga paling digemari di Indonesia, tetapi juga berpotensi besar menggerakkan roda ekonomi nasional.

Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) melihat geliat turnamen kelompok usia atau grassroots football sebagai pilar strategis untuk menjaring talenta muda sekaligus mendongkrak industri olahraga dalam negeri.

Ratusan kompetisi sepak bola usia dini—dari kategori U-9 hingga U-17—rutin digelar di berbagai daerah setiap tahunnya.

Turnamen ini diinisiasi oleh beragam penyelenggara, seperti sekolah sepak bola (SSB), akademi, lembaga swasta, hingga program resmi PSSI dan pemerintah pusat dalam pembinaan usia dini.

Namun, di balik semangat pembinaan atlet muda, kegiatan ini telah menciptakan dampak ekonomi yang signifikan.

Perputaran uang terjadi dari berbagai sektor: mulai dari penyewaan lapangan, akomodasi tim, konsumsi, transportasi, hingga penjualan merchandise dan kebutuhan perlengkapan olahraga.

Menpora Zainudin Amali (kiri) berbincang dengan Deputi Bidang Pembudayaan Olahraga Kemenpora Raden Isnanta (kanan) saat memberikan keterangan pers terkait agenda olahraga yang akan dihadapi Indonesia di Kemenpora, Jakarta, Kamis (14/11/2019). [Antara/Nova Wahyudi]
Deputi Bidang Industri Olahraga Kemenpora Raden Isnanta (kanan). [Antara/Nova Wahyudi]

Kehadiran turnamen ini juga memberi napas bagi pelaku UMKM lokal di sekitar venue pertandingan.

Deputi Bidang Industri Olahraga Kemenpora, R Isnanta, menegaskan bahwa penyelenggaraan kompetisi kelompok usia ini tidak hanya bermodal semangat, tetapi juga memerlukan anggaran besar.

Meski demikian, keberlangsungan kompetisi tersebut menjadi indikasi kuat bahwa ada keuntungan ekonomi yang terus berputar.

Baca Juga: Makin Luas Jaring Talenta Sepak Bola Putri, MLSC Tahun Ini Hadir di 10 Kota

"Berbicara soal industri, pasti bicara faktor ekonomi. Menggelar jika tidak menguntungkan, tentu tidak akan dilanjutkan. Namun, ini bisa berlanjut, berarti ada potensi keuntungan ekonomi di situ," katanya.

Ekosistem sepak bola usia dini kini telah tumbuh semakin luas dengan lebih dari 15 operator aktif yang tergabung dalam Asosiasi Pembina Sepak Bola Usia Muda Seluruh Indonesia (APSUMSI).

Operator-operator seperti Liga TopSkor, Indonesia Grassroot Championship, FORSGI, BLiSPI, GEAS Indonesia, Komunitas Jujur, FOSSBI, Fosbolindo, GoBolaBali, ASBI, Liga Sentra, SBAI, hingga Dream Come True (DCT), secara rutin menyelenggarakan kompetisi berjenjang dari tingkat daerah hingga nasional.

Masing-masing operator tersebut mencatat rata-rata partisipasi lebih dari 2.000 atlet tiap tahun. Angka ini belum termasuk pelatih, ofisial tim, serta orang tua yang turut hadir mendampingi.

Uniknya, pemasukan operator bukan hanya dari biaya pendaftaran, tetapi juga dari sponsor utama maupun pendukung, menandakan geliat bisnis yang terus tumbuh di balik sepak bola usia muda.

Secara matematis, potensi ekonomi dari turnamen grassroot ini sangat mencengangkan. Jika satu klub membayar biaya pendaftaran sekitar Rp500 ribu per event dan ada ribuan klub yang terlibat, maka puluhan miliar rupiah dapat berputar hanya dari sektor ini.

Apalagi jika ditambahkan dengan pengeluaran untuk akomodasi, konsumsi, transportasi, dan belanja lainnya. Isnanta bahkan memaparkan simulasi yang cukup mencolok.

"Jika dihitung kasar, dibuat satu tim mengeluarkan Rp25 juta per kompetisi. Dan ada sekitar 5.000 tim kelompok umur yang ikut, maka bisa dilihat Rp125 miliar berputar karena kompetisi kelompok umur tersebut. Saya yakin, jumlah itu bisa lebih besar, karena ada ratusan kompetisi kelompok umur yang digelar di Indonesia," bebernya.

Dukungan juga datang dari para pelaku kompetisi. Jalu, salah satu pengelola Liga Anak Indonesia, menyebut bahwa hanya dari proses registrasi tingkat regional hingga nasional, bisa memutar dana hingga Rp2 miliar.

Angka itu belum termasuk pendapatan dari UMKM, tiket penonton, dan sektor pendukung lainnya.

"Hitungan itu belum termasuk hotel, transportasi, dan juga konsumsi peserta, tidak salah jika dilihat bahwa potensi industri olahraga di sepak bola kelompok umur ini sangat besar," tuturnya.

Hal serupa juga terlihat dalam gelaran Piala Soeratin Jawa Timur 2025. Sekretaris Jenderal PSSI Jatim, Djoko Tetuko, menyebutkan bahwa turnamen tersebut bukan hanya ajang mencari bibit muda berbakat, tetapi juga menjadi motor penggerak ekonomi daerah.

Menurut Djoko, biaya operasional penyelenggaraan untuk tiga kelompok usia mencapai Rp3,5 miliar.

Ketika digabung dengan pengeluaran tim dan penonton, total perputaran uang ditaksir mencapai lebih dari Rp10 miliar.

Fenomena serupa juga tercermin dari Indonesia Grassroot Championship Cup 2025 yang digelar di Surakarta.

Acara tersebut menarik sekitar 2.500 peserta dan pendukung, dengan estimasi nilai ekonomi yang berputar mencapai Rp15 miliar hanya dalam dua hari pelaksanaan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI