Suara.com - Eberechi Eze, gelandang kreatif yang kini bersinar di Premier League, menyimpan kisah hidup penuh perjuangan sebelum akhirnya kembali ke klub masa kecilnya, Arsenal.
Lahir di Greenwich, London, pada 29 Juni 1998 dari keluarga imigran Nigeria, Eze tumbuh dalam lingkungan yang keras dan penuh keterbatasan.
Greenwich bukanlah wilayah yang benar-benar ramah bagi anak-anak seusianya.
Ia harus belajar bertahan hidup sejak kecil, sambil menyalurkan mimpinya lewat sepak bola.
“Sepulang sekolah, tempat pertama yang kami datangi adalah cage. Kami main bola sampai larut malam, sampai orang tua memanggil kami pulang. Sering kali kami bahkan lupa makan, karena hanya ada bola di kepala kami,” kenang Eze, dikutip dari The Independent.
Lingkungan itulah yang membentuk mental baja dan ketangguhan Eze di kemudian hari.
Ditolak Arsenal, Eze Tak Menyerah
Perjalanan Eze menuju panggung Premier League tidak mulus. Ia sempat menimba ilmu di akademi Arsenal, namun pada usia 13 tahun harus menerima kenyataan pahit: dilepas oleh klub impiannya.
Bagi sebagian besar anak, penolakan sebesar itu bisa memupus mimpi.
Tapi tidak bagi Eze. Ia masih mencoba peruntungan di Fulham dan Reading, meski nasib kembali berkata lain.
Baca Juga: Pintu untuk Mees Hilgers Tertutup, Crystal Palace Pilih Pertahankan Marc Guehi
Mencoba Bertahan di Millwall
Harapan sempat muncul ketika Millwall memberinya beasiswa dua tahun. Eze cepat menanjak dari tim U-18 ke tim cadangan, menunjukkan bakat luar biasanya.
Namun, pada akhir musim 2015/16, ia kembali menerima pukulan: Millwall tidak menawarinya kontrak profesional.
Di momen itu, menyerah bisa jadi pilihan. Tapi Eze memilih jalan lain—terus berjuang dan mempercayai bahwa kerja keras serta cintanya pada sepak bola akan membawanya ke puncak.
Kepulangan Emosional ke Arsenal
Kini, cerita berbalik. Arsenal akhirnya mendatangkan Eberechi Eze dari Crystal Palace.
Transfer ini bukan hanya langkah strategis untuk memperkuat lini tengah, tapi juga kisah emosional: seorang anak yang pernah ditolak, kini pulang ke klub masa kecilnya.
Kedatangan Eze juga menjadi solusi darurat setelah Kai Havertz mengalami cedera lutut serius.
Dengan jadwal padat di Premier League dan Liga Champions, Mikel Arteta butuh sosok kreatif yang bisa langsung memberi dampak.
Performanya bersama Crystal Palace musim lalu memang mencuri perhatian.
Torehan gol dan assist yang ia catat membuat banyak klub besar mengincarnya, termasuk Tottenham Hotspur.
Namun, Eze lebih memilih Arsenal—klub yang pernah menampungnya di awal karier dan tim yang selalu ia dukung sejak kecil.
Sebuah perjalanan penuh lika-liku, yang kini membawanya kembali ke panggung yang dulu hampir menolaknya selamanya.
Kontributor: M.Faqih