Para penggemar game akan dimanjakan dengan referensi visual, mulai dari desain monster hingga kostum dan senjata oversized yang dibuat dari tulang belulang monster, sebuah elemen yang meniru siklus permainan aslinya.
Sayangnya, kemegahan visual tersebut tidak diimbangi dengan kedalaman narasi. Plot terasa tipis dan hanya berfungsi sebagai jembatan dari satu sekuens pertarungan ke sekuens berikutnya.
Anderson tampaknya lebih fokus untuk menciptakan tontonan yang "keren" di sekitar istrinya, sebuah kritik yang juga sering dialamatkan pada seri Resident Evil.
Akibatnya, pengembangan karakter terasa dangkal; kita tidak diberi cukup alasan untuk benar-benar peduli pada nasib Artemis selain karena ia adalah sang protagonis.
Masalah lain terletak pada proses penyuntingan, terutama dalam adegan aksi.
Meskipun memiliki aset sekelas Tony Jaa yang terkenal dengan kemampuan fisiknya, banyak pertarungan terasa kacau akibat "potongan-potongan gambar yang terlalu cepat sehingga sulit untuk diikuti."
Ini adalah sebuah ironi, mengingat koreografi pertarungan dan desain produksi sebenarnya adalah aspek yang paling dipuji dari film ini.
Pada akhirnya, Monster Hunter adalah film yang sangat sadar akan tujuannya: menyajikan hiburan tanpa otak (mindless fun) yang penuh dengan ledakan dan monster.
Film ini terasa seperti sebuah film yang "hampir selalu mengambil pilihan yang aman", enggan untuk menyelami keunikan dan keanehan dunia yang menjadi sumber adaptasinya.
Baca Juga: Urutan Film Superman Terburuk hingga Terbaik Jelang Versi James Gunn Tayang
Ia berhasil dalam menyajikan parade monster yang seru dan menegangkan, namun gagal memberikan cerita dan karakter yang berkesan.