Suara.com - Sebuah janji surga dengan banderol jutaan rupiah telah mengusik ketenangan warga di Perumahan Dukuh Zamrud, Bekasi, Jawa Barat.
Di pusat kontroversi ini berdiri seorang perempuan berinisial PY, atau yang lebih dikenal sebagai Umi Cinta, pemimpin sebuah kelompok keagamaan yang kini dituding menyebarkan ajaran menyimpang.
Praktiknya yang tertutup, eksklusif, dan tarif infak yang tak lazim telah menyulut api keresahan selama bertahun-tahun.
Puncaknya, kesabaran warga habis, melahirkan protes besar yang akhirnya membongkar apa yang sebenarnya terjadi di balik gerbang rumah yang selalu terkunci itu.
Berikut adalah lima fakta kunci yang perlu Anda ketahui tentang aliran kontroversial yang disebar oleh Umi Cinta.
1. Janji Kapling Surga dengan Tarif Jutaan Rupiah
Inilah pemicu utama kemarahan publik. Menurut kesaksian para mantan pengikut, Umi Cinta secara terang-terangan menawarkan tiket masuk surga bagi siapa pun yang bersedia membayar mahar sebesar Rp1 juta.
Tak hanya itu, ada pula tarif-tarif lain yang ditetapkan, seperti Rp100 ribu untuk individu dan Rp400 ribu untuk satu keluarga.
Praktik ini diperparah dengan kewajiban infak mingguan minimal Rp100 ribu yang harus diberikan secara terbuka tanpa amplop.
Baca Juga: Fenomena Bendera One Piece di Demo Pati: Ketika Nakama Turun ke Jalan Melawan Kekuasaan Arogan
Diduga praktek tersebut merupakan metode yang sengaja dirancang untuk menimbulkan tekanan sosial di antara para jemaat.
2. Perilaku Jamaah yang Meresahkan hingga Dikabarkan Merusak Harmoni Keluarga
Dampak ajaran Umi Cinta ternyata tidak hanya soal materi, tetapi juga merasuk hingga ke sendi-sendi keluarga.
Tokoh agama setempat, Abdul Halim, menerima banyak laporan dari warga mengenai perubahan drastis para pengikut.
Istri dilaporkan mulai berani melawan suami, dan anak-anak menjadi sulit diatur oleh orang tua mereka.
Kekhawatiran semakin mendalam ketika beberapa jamaah perempuan yang sebelumnya bercadar mulai melepaskan penutup wajahnya dan berbaur dengan laki-laki non-mahram tanpa sekat.
Sebuah perubahan yang dianggap menyimpang dari norma sosial dan agama yang dipegang teguh oleh ajaran agama Islam.
3. Kegiatan Eksklusif Tanpa Izin yang Mengganggu Lingkungan
![Warga Perumahan Dukuh Zamrud, Mustikajaya, Bekasi, Jawa Barat (Jabar) membentangkan spanduk berisi tanda tangan warga yang menolak Pengajian Umi Cinta karena dianggap meresahkan warga. [Tangkapan layar X]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/08/13/54881-spanduk-penolakan-pengajian-umi-cinta.jpg)
Selama delapan tahun beroperasi, kelompok ini membangun sebuah benteng eksklusivitas.
Kegiatan mereka digelar secara tertutup, dengan pagar rumah selalu terkunci rapat, seolah menyembunyikan sesuatu dari dunia luar.
Ironisnya, meski menutup diri, dampak negatifnya justru meluber keluar. Kegiatan ini tidak pernah mengantongi izin dari RT maupun RW setempat.
Parkir kendaraan jamaah yang sembarangan hingga menyebabkan kemacetan dan merusak tanaman warga, ditambah suara bising dari anjing peliharaan, menciptakan gangguan nyata yang mengikis habis kesabaran para tetangga.
4. Rekam Jejak Penolakan di Tempat Lain
Ternyata, Dukuh Zamrud bukanlah lokasi pertama bagi Umi Cinta dan kelompoknya.
Menurut penuturan warga, sebelum menetap di sana, kelompok ini pernah menggelar kegiatan serupa di perumahan lain.
Namun, karena praktik mereka juga menimbulkan keresahan, mereka akhirnya ditolak dan terpaksa pindah.
Fakta ini menunjukkan adanya pola masalah yang berulang, memperkuat dugaan warga bahwa kegiatan yang dijalankan memang bermasalah dan bukan sekadar kesalahpahaman biasa.
5. Upaya Melawan Balik yang Justru Menjadi Bumerang
Ketika tekanan dari warga semakin kuat, Umi Cinta mengambil langkah tak terduga dengan melaporkan seorang tokoh agama perempuan di lingkungannya atas tuduhan pencemaran nama baik.
Namun, tindakan ini bukannya meredam situasi, malah justru menyulut api kemarahan yang lebih besar.
Warga merasa perlawanan mereka dilecehkan, sehingga mereka semakin solid.
Spanduk-spanduk penolakan berukuran besar yang dibubuhi ratusan tanda tangan pun dipasang, menjadi simbol perlawanan kolektif terhadap praktik yang mereka anggap sesat dan meresahkan.
Kasus ini menjadi cerminan pahit bagaimana keyakinan dapat dimanipulasi untuk keuntungan pribadi, meninggalkan jejak perpecahan dan keresahan sosial.

Warga menegaskan bahwa mereka tidak anti terhadap kegiatan keagamaan, tetapi menolak keras segala bentuk eksploitasi berkedok ajaran suci.
Kini, bola panas berada di tangan aparat penegak hukum, dan publik menanti sebuah resolusi tegas yang dapat memulihkan ketenangan serta mencegah insiden serupa terulang kembali di masa depan.