Suara.com - Jujur, saya menonton Shelby Oaks dengan ekspektasi agak tinggi.
Bagaimana tidak? Ini debut penyutradaraan Chris Stuckmann, seorang YouTuber sekaligus kritikus film yang kariernya dibangun dari menilai karya orang lain.
Jadi tentu saja muncul rasa ingin tahu, apakah orang yang jago mengkritik otomatis bisa membuat film yang bagus?
Jawabannya... ya dan tidak. Shelby Oaks bukan film yang buruk, tapi juga bukan yang membuat saya ingin berdiri dan bertepuk tangan di akhir kredit.
Film ini sebenarnya cukup menarik, tapi kurang menggigit.
Kisah Kakak yang Tak Bisa Move On

Film ini mengikuti kisah Mia (Camille Sullivan), seorang perempuan yang masih dibayang-bayangi hilangnya sang adik, Riley.
Dua belas tahun lalu, Riley dikenal sebagai pemburu hantu di era awal kejayaan YouTube, masa di mana video dengan resolusi 240p pun bisa bikin orang menjerit ketakutan.
Suatu hari, Riley dan timnya menghilang saat berburu misteri di sebuah kota terbengkalai bernama Shelby Oaks.
Baca Juga: Dari Santet hingga Setan Laut Selatan, 5 Film Horor Terbaru Tayang Mei 2025
Dua belas tahun kemudian, sebuah kejadian baru memaksa Mia kembali menelusuri misteri yang belum selesai itu.
Premisnya menarik, ada campuran nostalgia internet, hubungan keluarga, dan nuansa horor klasik.
Di awal film, saya terkesan dengan suguhan footage yang terasa menakutkan. Tapi sayangnya, semangat itu perlahan memudar, seperti sinyal Wi-Fi di tempat angker.
Antara Nostalgia dan Kebingungan

Chris Stuckmann mencoba menggabungkan dua gaya penceritaan, dokumenter found footage dan narasi film konvensional.
Di atas kertas, ini ide cemerlang. Tapi di layar, hasilnya agak tersendat. Seolah menonton dua film yang berbeda tapi dipaksa bersatu tanpa chemistry.