"Penderita memiliki ide lebih kreatif, realistis dan peka melihat peluang. Ia juga terlihat gembira, energik dan produktif," urainya merinci.
Namun sayangnya, kata Nurmiati, penderita gangguan suasana hati tipe dua sering mengambil keputusan yang buruk dan mudah marah tanpa sebab. Kondisi ini tentu saja berdampak pada hubungan, karier dan reputasi.
Sedangkan depresi, tambah dia, ditandai dengan hilangnya minat seseorang. Tak hanya itu, penderita dengan gejala ini juga sering terlihat sedih, murung, tak mau bertemu orang lain, serta mengalami insomnia.
"Penderita biasanya merasa tak berguna dan gampang berhalusinasi," jelasnya.
Kondisi inilah yang menyebabkan seseorang bisa melakukan tindakan nekat seperti bunuh diri. "Dan bipolar tipe 2 ini banyak diderita perempuan," ungkap Nurmiati.
Perempuan Rentan Gangguan Bipolar
Ia mengakui, perempuan memang lebih rentan mengalami gangguan bipolar yaitu, gangguan jiwa bersifat episodik yang ditandai dengan gejala-gejala perubahan suasana hati seperti mania, hipomania, depresi dan campuran.
Ini dikarenakan terkait hormonal, yakni hormon estrogen yang mempengaruhi mood perempuan. Contohnya, kata Nurmiati, saat haid, hamil, pascamelahirkan, pre-menopause dan menopause.
“Pada saat itu hormon estrogen bisa terganggu,” imbuhnya.
Nurmiati menjelaskan, gangguan bipolar kemungkinan muncul pada perempuan setelah melahirkan. Pada masa tersebut, lanjut Nurmiati, perempuan bisa mengalami depresi yang umumnya dipicu oleh masalah berat disertai gangguan psikotik berupa gangguan pada kemampuan menilai realita.
“Saat perempuan mengalami depresi pascamelahirkan, kemungkinan munculnya gangguan bipolar besar. Hanya mania saja yang belum muncul. Jadi nggak bisa dianggap enteng depresi pascamelahirkan itu,” katanya.
Langkah pengobatan bagi penderita gangguan bipolar, menurut Nurmiati, perlu usaha pasien untuk hidup teratur mengikuti psikoterapi, terapi keluarga dan kelompok.
“Gangguan bipolar itu sifatnya kronik. Kapan saja bisa kambuh. Oleh karenanya, pengobatan komprehensif harus terus menerus dilakukan. Saat pengobatan dihentikan, ada risiko gangguan ini bisa kambuh,” tutupnya.