Jalan Panjang Membongkar Belenggu Stigma Terhadap Kondom: Dianggap Tabu Hingga Diancam Kriminalisasi

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Kamis, 29 September 2022 | 10:45 WIB
Jalan Panjang Membongkar Belenggu Stigma Terhadap Kondom: Dianggap Tabu Hingga Diancam Kriminalisasi
Ilustrasi kondom. (Dok: Elements Envanto)

Menelusuri stigma terhadap kondom 

Seksolog Zoya Amirin Zoya Amirin,M.Psi.,FIAS menyebut bahwa stigma terkait kondom seperti yang Hasto sampaikan, sebagian besar juga dipengaruhi oleh budaya patriarki yang masih cukup kental di masyarakat. Patriarki yang dimaksud Zoya ialah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam dalam berbagai peran sosial. 

Zoya menjelaskan bahwa budaya patriarki yang mengakar membuat laki-laki seolah merasa berhak untuk menentukan bahwa mereka bebas menggunakan kondom atau tidak. Termasuk memutuskan untuk melakukan Coitus Interruptus atau senggama terputus sebagai cara mengendalikan kehamilan. 

Ilustrasi kondom. (Dok: Elements Envanto)
Ilustrasi kondom. (Dok: Elements Envanto)

“Ini kan mengerikan pemikiran yang menganggap bahwa laki-laki sejati mampu melakukan coitus interuptus, bukan bagaimana sebagai laki-laki sejati mampu melakukan seks yang bertanggung jawab,” kata Zoya. 

Argumen Zoya juga didukung sebuah studi berjudul ‘Perceptions towards HIV and AIDS, Condom Use and Voluntary Counseling and Testing (VCT) Amongst Students at A Previously Disadvantaged South African Tertiary Institution. Studi yang diterbitkan dalam jurnal Journal of Human Ecology menyebutkan bahwa banyak hambatan terkait penggunaan kondom erat kaitannya dengan budaya patriarki, yang membuat laki-laki mendominasi, termasuk mendikte penggunaan kondom. 

Dalam konteks Indonesia, studi terbaru tahun 2022 berjudul Ketidakadilan Gender Dalam Implementasi Kebijakan Kependudukan Pada Penggunaan Alat Kontrasepsi Studi Di Kampung Kb, Kota Batu, juga menemukan bahwa dalam budaya Jawa yang masih menganut konsep patriarki membuat perempuan tidak memiliki posisi yang cukup kuat dalam mengambil keputusan pada ranah domestik. Termasuk saat memilih kontrasepsi. 

Situasi tersebut semakin dipersulit dengan minimnya edukasi dan informasi yang minim pada pengambil kebijakan, sehingga tidak jarang kondisi itu mengokohkan stigma di masyarakat. Salah satunya ketika sejumlah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) di berbagai daerah yang merazia kondom setiap menjelang Hari Valentine, setiap 14 Februari. 

“Jadi saya agak terkejut dengan pemikiran Satpol PP itu cukup ajaib, kok bisa menciduk mengambil kondomnya, padahal alat kontrasepsi untuk pencegahan,” ujar Zoya. 

“Apakah kalau enggak ada kondom kemudian orang enggak mau melakukan hubungan seks? Kan enggak, saya gak mengerti logikanya, dan dasar hukumnya apa.”

Baca Juga: Awas! Sex Toys Menularkan Penyakit HIV, Perhatikan ini Agar Tetap Aman

Dibelenggu stigma hingga terancam kriminalisasi

Warga melintas di depan mural bertuliskan "#Tolak RKUHP" di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur, Sabtu (28/9). [Suara.com/Angga Budhiyanto]
Warga melintas di depan mural bertuliskan "#Tolak RKUHP" di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur, Sabtu (28/9). [Suara.com/Angga Budhiyanto]

Meski demikian, belakangan ada draft  final aturan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang beradar Mei 2022 lalu, dan dinilai sejumlah pihak bukan hanya semakin menambah stigma terhadap edukasi terkait alat kontrasepsi seperti kondom, tapi juga berpotensi mengkriminalisasi masyarakat. 

Aturan tersebut tertuang dalam draft final RKUHP Pasal  414 yang menyebutkan bahwa , ‘Setiap Orang yang tanpa hak secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada anak dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.

Dalam Pasal 416 RKUHP poin 1 juga disebutkan bahwa ‘Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 414 tidak dipidana jika dilakukan oleh petugas yang berwenang dalam rangka pelaksanaan keluarga berencana, pencegahan penyakit infeksi menular seksual, atau untuk kepentingan pendidikan dan penyuluhan kesehatan.’

Dua draft aturan di atas menjadi beberapa poin yang dikritisi oleh perwakilan Aliansi Reformasi KUHP, Riska Carolina. Menurutnya frasa pejabat yang berwenang dan relawan yang kompeten justru akan menghambat dan mengkriminalisasi upaya edukasi hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) yang selama ini dilakukan oleh para penjangkau lapangan. 

“Kalau relawan yang kompeten berarti harus ada yang mengatur siapa yang memberikan kompetensinya. Kemudian pejabat yang berwenang berarti akan ada lembaga atau kementerian yang ditunjuk untuk menjadi penjangkau lapangan,” jelas Riska. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI