Masuk ke Baduy Dalam
Sebuah jembatan bambu yang membentang di atas aliran sungat yang jernih menjadi penanda masuk ke desa Cikeusik. Anda akan disambut dengan rumah-rumah panggung dari bambu (saung ) yang berhadapan membentuk jalan setapak kecil ditengah-tengahnya. Suku Baduy Dalam hanya menggunakan kayu, bambu, ijuk, dan daun pohon aren yang diikat menggunakan tali untuk mendirikan rumah. Setiap rumah hanya diperbolehkan menghadap utara dan selatan. Tak ada perbedaan bentuk rumah, maupun perabotan yang digunakan setiap keluarga Baduy Dalam.
Biasanya sang pemilik rumah yang akan kita tempati untuk menginap atau perwakilan warga akan mengajak untuk berkeliling di desa Cikeusik. Di sini terdapat lumbung – lumbung padi (leuit) milik keluarga, tempat menumbuk padi, serta ada juga tempat yang berisi alat musik yang digunakan oleh warga desa Cikeusik saat mereka mengadakan acara adat. Selain itu kita akan ditunjukkan rumah pu’un ( tetua adat ) dari jauh, dan ada batas bambu yang tidak bisa dilewati oleh pengunjung.
Untuk pakaian warga Baduy Dalam mengenakan baju berwarna putih, kain sarung hitam, dan ikat kepala putih sebagai pakaian keseharian mereka. Sesekali, saat melakukan perjalanan ke Baduy Luar, atau ke luar Baduy, baju putih mereka berganti menjadi pakaian berwarna hitam.
Setiap pengunjung yang hendak menginap di rumah warga Baduy harus mematuhi sejumlah larangan, di antaranya larangan membawa tape atau radio, tidak menggunakan handphone, tidak menangkap atau membunuh binatang, tidak membuang sampah sembarangan, tidak menebang pohon, tidak mengonsumsi minuman memabukkan, dan tidak melanggar norma susila. Tidak hanya itu, jika berada di kawasan Baduy Dalam, pengunjung dilarang untuk merokok di dalam rumah, memotret, dan menggunakan sabun,sampo serta odol.
Bagi masyarakat Baduy Dalam yang menganut kepercayaan Sunda Wiwitan, amanah leluhur adalah segala-galanya. Menurut Juli, salah satu warga Baduy Dalam, bila tak menaati, mereka akan terkena sanksi adat hingga dikeluarkan dari Baduy Dalam.
“ Bila ada yang melanggar aturan adat akan diberikan hukuman. Biasanya mereka tidak diizinkan masuk ke Baduy Dalam selama 40 hari dan harus bekerja di ladang. Hukuman diberikan sesuai berat atau ringannya pelanggaran, “ ujarnya dalam Bahasa dialek Sunda-Banten.
Struktur Sosial & Kearifan Lokal Baduy Dalam
Secara tradisional pemerintahan di Baduy bercorak kesukuan dan disebut kapuunan, karena pu’un menjadi pimpinan tertinggi. Pu’un dibantu oleh jaro sebagai pelaksana harian urusan pemerintahan kapuunan.
Pembagian tiga kampung Baduy Dalam memiliki makna penugasan adat. Tiga kampung Baduy Dalam ini adalah Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik
Setiap pu’un di Baduy Dalam memiliki wewenang yang berbeda.
Cibeo memiliki tugas urusan pelayanan masyarakat Baduy, sosial kemasyarakatan, dan terkait wilayah. Tugas pemerintahan, pertanian, dan komunikasi dengan warga luar juga masuk wewenang masyarakat Cibeo. Sedangkan Cikertawana bertugas sebagai penasihat urusan-urusan keamanan, ketertiban, kesejahteraan, dan pembinaan warga Baduy.
Terakhir Cikeusik bertugas soal keagamaan, pelaksanaan kalender adat, serta memutuskan hukuman bagi pelanggar adat.
Baduy Dalam memilih mempertahankan gaya hidup tradisional mereka sebagai masyarakat agraris. Teknologi modern dibatasi dan aktivitas bertani dilakukan secara tradisional. Mereka hanya memakai segelintir alat pertanian, seperti bedog (golok), arit, kored(cangkul kecil), etem (sejenis ani-ani), dan pisau.
Keteguhan masyarakat Baduy menjaga keseimbangan alam patut dicontoh oleh yang tinggal di kota besar. Larangan dan tabu itu jika ditelisik secara ilmiah ada manfaat positifnya, misal larangan mandi menggunakan sabun, odol, sampo. Bahan-bahan kimia dari cairan itu menyebabkan pencemaran air, limbah plastik kemasannya pun sulit diurai oleh tanah dan mengganggu keseimbangan alam.