"Jadi, mode itu, kalau sekarang kita tren mode bisa didapat dari desainer dari trend setter artis dan sebagainya, kalau dulu itu dari penguasa dulu, dari keraton, kerajaan, karena mereka juga punya kuasa untuk mengatur pakaian rakyatnya, jadi yang boleh dan enggak boleh dan sesuai dengan kedudukan itu diatur oleh keraton," tambah perempuan yang kerap tampil funky tersebut.
Namun, perempuan indo dan totok ini mengembangkan kebaya sesuai dengan identitas mereka. Dikatakan Lenny, mereka tidak mau memakai kain yang sama dengan perempuan keraton, sehingga mereka menciptakan kain-kain yang gambarnya khas Eropa, biasanya gambar buketan atau bunga, yang kemudian dikenal dengan batik buketan.
"Kemudian kebayanya juga bahannya berbeda dengan orang keraton. Dia juga memakai hiasan-hiasan renda dan berwarna putih," kata Lenny.
"Kemudian kenapa kita sekarang kenalnya sebagai kebaya encim,
karena waktu itu sebagai kelas masyarakat strata kedua setelah Belanda, tentu orang-orang keturunan Tionghoa ini, mereka pengusaha dan tentunya sangat kaya-raya, mereka juga ingin
menyamai perempuan-perempuan induk ini, dan mereka juga tetap memasukkan identitas mereka baik di kebayanya maupun di kainnya, Jadi kebayanya mereka bordir dengan motif-motif khas China, kain batiknya juga mereka buat dengan gambar-gambar burung naga dan sebagainya," papar Lenny.
Kebaya Sebagai Busana Nasional
Indonesia adalah negara dengan banyak sekali kebudayaan, yang masing-masing memiliki baju daerahnya masing-masing. Lalu, mengapa dipilih kebaya sebagai busana nasional?
Menurut Lenny, hal ini tak lepas dari pergerakan nasionalisme, di mana mulai banyak pemikiran masyarakat untuk bersatu membentuk negara yang united, atau nasional, hingga akhirnya dipilihlah nama Indonesia.
"Nah, dengan semangat itu, jadinya secara tidak sadar, mungkin karena di kegiatan ini banyak dilakukan di Jawa dan pulau Jawa yang terbanyak penduduknya saat itu, dan semua penguasa-penguasa dari di Jawa, dan pada waktu Belanda sudah melaksanakan politik balas budi yang memperbolehkan penduduk pribumi untuk belajar sampai ke negeri Belanda meski tetap dibatasi pada kalangan priyayi. Tapi itu sudah mulai menumbuhkan kaum-kaum intelektual yang mulai berpikir bahwa 'Oh, kita ini sedang dijajah, lho, dan kita harus merdeka, dan kita harus bersatu dan sebagainya'," kata Lenny.
Gerakan nasionalisme ini juga memengaruhi para perempuan yang punya kesempatan sekolah tinggi ini, yang awalnya ter-influence dengan cara berpakaian Barat. Mereka kemudian rela untuk meninggalkan identitas 'barat' tersebut dan ingin menjadi orang Indonesia dan memilih kebaya di setiap kongres.
Baca Juga: Pilihan Warnanya Gak Pernah Gagal, Bocoran Seragam Keluarga untuk Acara Aaliyah Massaid Dipuji
"Mereka memilih berkebaya tidak peduli mereka dari suku apa dan dari mana. Karena pada saat Sumpah Pemuda pun juga yang datang dari berbagai daerah, dan mereka kompak memakai kebaya, sedangkan laki-lakinya tetap berpakaian Barat," kata Lenny.