Para ibu rumah tangga yang menjadi penjual langsung juga memperoleh kesempatan untuk menghasilkan uang tambahan. Hal ini lantas membuat Tupperware dikenal sebagai bisnis rumahan atau populer di kalangan ibu-ibu.
Sementara di Indonesia sendiri, popularitas Tupperware juga terbilang sangat tinggi. Pada tahun 1990-an sampai 2000-an, hampir setiap rumah tangga mengetahui brand ini. Tak hanya tahan lama, Tupperware juga dikenal memiliki kualitas yang baik.
Produk-produk Tupperware, mulai dari tempat bekal makanan, wadah masakan, hingga botol minum seringkali dianggap barang mewah. Dari sini, banyak anak dan anggota keluarga lain yang khawatir ibu marah jika Tupperware miliknya rusak atau hilang. Bahkan sampai beredar candaan bahwa anak yang menghilangkan Tupperware bisa-bisa dihapus namanya dari Kartu Keluarga (KK).
Namun, seiring berjalannya waktu, Tupperware mulai menghadapi beragam tantangan yang serius. Adanya perubahan gaya hidup modern dan perkembangan teknologi mengubah cara banyak konsumen dalam membeli produk rumah tangga.
Penjualan langsung atau offline yang dulu menjadi kekuatan utama brand tersebut mulai tersaingi oleh e-commerce dan toko online. Apalagi toko-toko online menyediakan berbagai macam pilihan wadah plastik makanan dengan harga yang lebih murah.
Tak cukup sampai di situ, persaingan dari produsen wadah makanan lain, termasuk merek-merek lokal juga menjadi permasalahan serius. Pasalnya, mereka menawarkan produk serupa dengan harga lebih murah. Kondisi ini lantas semakin menekan posisi Tupperware di pasaran.
Atas dasar persaingan itu, Tupperware sempat terancam bangkrut. Beberapa anak perusahaannya bahkan pernah mengajukan kebangkrutan di AS lantaran mengalami kerugian yang besar. Pengajuan gulung tikar ini diajukan mereka pada September 2024 silam.
Diberitakan pada Rabu (30/10/2024), hakim kepailitan AS menyetujui usulan Tupperware untuk menjual asetnya kepada pemberi pinjaman. Jadi perusahaan bisa keluar dari kebangkrutan dan sebagian besar operasinya masih tetap berjalan.
Pengacara Tupperware, yakni Spencer Winters mengatakan bahwa perusahaan sudah mencari pembeli selama berbulan-bulan sebelum pengajuan kebangkrutan. Namun, tidak ada yang mau melunasi utang perusahaan sebesar USD 818 juta atau sekitar Rp 13 triliun.
Baca Juga: 4 Poin Pertimbangan Bekal Makanan Mudik Lebaran Naik Mobil, Pantang Dikonsumsi Dalam Kondisi Begini
CEO Tupperware, Laurie Ann Goldman mengatakan, perusahaan akan menghentikan operasinya di pasar lain. Mereka berencana pindah ke model bisnis yang mengutamakan digital, teknologi tinggi, serta tidak terlalu bergantung pada aset usai bebas dari kebangkrutan.