Chef-chef profesional menyiapkan menu sehat tanpa gorengan, tanpa proses berlebih, dan tanpa plastik sekali pakai. Anak-anak membawa alat makan dan tumbler sendiri.
Mereka belajar mencuci alat makan, memahami asal bahan makanan, hingga ikut melihat langsung proses memasak di dapur hotel. Di ruang kelas dan kantin, makanan menjadi medium edukasi—bukan hanya pengisi perut.
"Kami ingin menjadi bagian dari solusi jangka panjang, bukan bantuan sesaat. Dengan menggandeng sekolah, kami membangun hubungan yang berkelanjutan," ujar Flood.
"Ini bukan tentang memberi makan satu kali, tapi membentuk kebiasaan dan sistem yang berdampak jangka panjang."
Program ini jauh melampaui sekadar makan gratis. Ia menjawab tantangan gizi, mengurangi sampah plastik, memperkuat pendidikan karakter, sekaligus membuka ruang kolaborasi lintas sektor. Sekolah tak perlu membangun dapur sendiri. Hotel dan restoran bisa memaksimalkan sumber dayanya di luar jam sibuk, sembari menunjukkan tanggung jawab sosial yang konkret.
Di Amerika Serikat, model serupa sudah berjalan lewat program farm-to-table. Sekolah bekerja sama dengan petani dan koki lokal untuk menyajikan makanan segar, sambil mengajarkan keberlanjutan.
Indonesia, lewat Revolusi Makan Siang Sekolah, bisa melangkah lebih jauh—dengan memanfaatkan kekuatan industri hospitality-nya.
"Kami yakin industri perhotelan bisa memainkan peran kunci dalam pembangunan sosial," tambah Flood.
"Kami punya dapur, keahlian, dan logistik—mengapa tidak kita gunakan untuk sesuatu yang benar-benar penting seperti masa depan anak-anak?"
Baca Juga: Sejumlah Pemimpin Dunia Bersurat ke Prabowo, Sampaikan Ingin Belajar MBG dari Indonesia
Langkah kecil ini berpotensi membawa perubahan besar. Jika diperluas, puluhan ribu hotel dan restoran bisa menjadi tulang punggung reformasi gizi nasional. Anak-anak Indonesia bisa tumbuh lebih sehat, lebih sadar lingkungan, dan lebih cerdas.