Fakta Miris: Kekerasan Terhadap Anak dengan Disabilitas Lebih Banyak Terjadi di Ruang Publik

Vania Rossa Suara.Com
Sabtu, 16 Agustus 2025 | 00:00 WIB
Fakta Miris: Kekerasan Terhadap Anak dengan Disabilitas Lebih Banyak Terjadi di Ruang Publik
Ilustrasi Kekerasan terhadap Anak. (Freepik)

Suara.com - Kekerasan terhadap anak dengan disabilitas masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Sebanyak 9 dari 10 orang dekat anak dengan disabilitas menyatakan pernah menyaksikan kekerasan yang menimpa mereka.

Temuan ini diungkapkan dalam peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 2025, yang digagas oleh Indonesia Joining Forces (IJF), sebuah konsorsium beranggotakan enam organisasi yang berfokus pada pemenuhan hak anak.

Acara bertajuk “Temu Anak Indonesia 2025: Inklusif, Penuh Makna, dan Riang Gembira” yang digelar di sebuah hotel di Jakarta Pusat memaparkan hasil survei kuantitatif dan studi kualitatif yang dilakukan oleh anggota Forum Anak IJF mengenai pengalaman kekerasan terhadap anak dengan disabilitas.

Lebih dari 80 anak dari berbagai wilayah Indonesia, termasuk anak penyandang disabilitas, perwakilan Forum Anak Indonesia, komunitas disabilitas, dan sekolah luar biasa (SLB) hadir dalam acara ini.

Selain anggota konsorsium seperti ChildFund International, Plan Indonesia, Save the Children Indonesia, SOS Children’s Villages, Terre des Hommes Germany, dan Wahana Visi Indonesia, hadir pula pemangku kepentingan dari kementerian, lembaga negara, dan organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada hak anak.

Angelina Theodora, Ketua Komite IJF periode 2024-2025 sekaligus Direktur Nasional Wahana Visi Indonesia, menyampaikan bahwa kegiatan ini menjadi momentum penting untuk menegaskan komitmen bersama menciptakan lingkungan yang aman, inklusif, dan bebas kekerasan bagi seluruh anak.

Menurutnya, IJF terus mendorong pemerintah, khususnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), untuk memperkuat upaya pencegahan kekerasan terhadap anak.

Lebih lanjut, Angelina menekankan bahwa inklusivitas bukan sekadar slogan. Melalui peringatan HAN, IJF menghadirkan perspektif langsung dari anak-anak dengan disabilitas dan orang-orang yang dekat dengan mereka.

Hasil kajian menunjukkan bahwa bentuk kekerasan yang paling sering dialami adalah verbal dan psikis/emosi, sementara 3 dari 10 anak dengan disabilitas pernah mengalami bahaya atau kekerasan fisik.

Baca Juga: 'Jangan Bilang Nanti Dipukuli', Jerit Pilu 4 Bocah Dirantai di Boyolali Diduga Dieksploitasi

Menanggapi temuan ini, Susanti, S.Sos., M.AP, Asisten Deputi Perlindungan Anak Kondisi Khusus KPPPA, menegaskan bahwa setiap anak, termasuk penyandang disabilitas, memiliki hak untuk tumbuh optimal, berpendapat, dan diperlakukan secara adil.

Ia menambahkan bahwa kekerasan terhadap anak masih merupakan fenomena gunung es yang memerlukan perhatian serius dari seluruh pihak.

“Anak adalah sumber daya manusia potensial yang harus dijaga dari segala bentuk kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan salah,” ujarnya.

Kebijakan dan tindakan nyata dari pemangku kepentingan menjadi harapan banyak pihak.

Zakiya, seorang anak penyandang disabilitas dari Jakarta Timur, menambahkan, “Harapan saya, sebagai anak penyandang disabilitas, ke depannya pemerintah dan para pemangku kepentingan dapat lebih cepat merespon. Kami, anak penyandang disabilitas, tiga kali lebih rentan mengalami kekerasan terhadap anak dan perempuan. Kami juga berhak dan ingin untuk bisa merasakan rasa aman.”

Ajang Temu Anak juga menjadi wadah diseminasi hasil konsultasi anak terkait pencegahan kekerasan di tingkat ASEAN dan global, termasuk pesan anak Indonesia pada Ministerial Meeting di Bogotá 2025, yang mendapat respon positif dari ASEAN.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI