AI tersebut akan meniru data asli yang diambil, seperti wajah hingga suara dari subjek.
Contohnya, pengguna memberikan data berupa video pidato seorang pejabat publik. AI akan mempelajari video tersebut untuk menghasilkan video rekayasa.
Pengguna dapat memberi perintah ke AI untuk membuat si pejabat seolah-olah mengatakan kata yang telah di-input sebagai perintah.
The Washington Post mencatat bahwa manipulasi media yang melahirkan Deepfake memang telah ada sejak tahun 1990.
Meskipun pada waktu itu, manipulasi media dilakukan secara manual dan tampak jelas sebagai rekayasa.
AI lambat laun berkembang dan bisa menghasilkan media rekayasa yang mirip aslinya, sehingga muncul istilah Deepfake untuk menyebut teknologi AI terkini.
Adapun beberapa tokoh politik yang pernah menjadi korban Deepfake adalah Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan eks Wakil Presiden Amerika Serikat Kamala Harris.
Kontroversi seputar Deepfake
Masyarakat dunia mayoritas setuju bahwa Deepfake adalah masalah yang serius, sebagaimana studi dari Convergence: The International Journal of Research into New Media Technologies.
Baca Juga: Rocky Gerung Murka ke Sri Mulyani: Kalau di Prancis, Kepala Anda Sudah Dipenggal!
Orang-orang mulai khawatir lantaran Deepfake dipakai untuk tindakan kriminalitas, seperti menggunakan wajah orang lain untuk membuat video asusila rekayasa.
Rolling Stone dan Medium juga sempat merangkum bahwa terjadi wabah video asusila yang menampilkan para selebriti di Korea Selatan melakukan adegan mesum.
Video tersebut adalah rekayasa dan akhirnya membuat masyarakat di Negeri Ginseng resah hingga menuntut pemerintah turun tangan.
Kontributor : Armand Ilham