Suara.com - Muncul tren dalam dunia kerja yang disebut dengan job hugging. Fenomena tren tersebut dialami baik oleh generasi Milenial maupun Generasi Z (Gen Z).
Adapun keberadaan fenomena job hugging sempat dipandang sebagai bukti bahwa Gen Z tak selemah asumsi publik yang memberikan stereotip bahwa Gen Z kerap gonta-ganti pekerjaan.
Asumsi tersebut memang bukan tanpa alasan, karena beberapa survei yang beredar bahwa sebanyak 31,82 persen Gen Z cenderung berganti pekerjaan.
Persentase tersebut cenderung lebih tinggi dibandingkan generasi lainnya.
Namun, terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam perilaku tersebut.
Terjadi penurunan sebanyak 11 persen tingkat resign atau mengundurkan diri dari pekerjaan, sebagaimana survei GoodStats.
Sekilas memang fenomena job hugging seakan-akan menunjukkan cerahnya masa depan dunia kerja karena seolah-olah menunjukkan generasi Milenial dan Gen Z makin betah di pekerjaan.
Nahas, job hugging justru menunjukkan ada problem dalam dunia kerja. Lantas, apa job hugging sebenarnya?
Fenomena job hugging: Pekerja enggan resign bukan karena betah
Baca Juga: Di Tengah Ekonomi Sulit, Begini Solusi UMKM dan Pekerja Tradisional dapat Bertahan dan Tumbuh
Job hugging secara harfiah diartikan sebagai 'memeluk pekerjaan.'
Istilah ini merujuk kepada fenomena yang menunjukkan perilaku seorang pekerja yang enggan melepaskan pekerjaan mereka.
Memang seolah-olah perilaku job hugging nampak seperti tindakan yang didasari oleh kesetiaan seorang pekerja.
Mereka yang melakukan job hugging atau yang disebut dengan job hugger umumnya mempertahankan pekerjaan demi keamanan dan stabilitas finansial.
Artinya, mereka enggan pindah pekerjaan karena khawatir akan kehilangan sumber penghasilan mereka.
Ada beberapa alasan mengapa rasa kekhawatiran tersebut muncul, salah satunya karena sulitnya mencari pekerjaan baru.
Tak dapat dipungkiri bahwa lapangan kerja baik dalam skala global maupun nasional sedang mengalami perlambatan signifikan.
Pertumbuhan lowongan kerja melambat dan persaingan untuk mendapatkan pekerjaan baru semakin ketat.
Kondisi yang demikian membuat pekerja enggan mengambil risiko untuk resign tanpa kepastian pekerjaan baru.
Beberapa ahli ketenagakerjaan juga melihat bahwa keengganan pekerja untuk pindah kerja adalah karena takut mendapat PHK atau dipecat.
Pekerja merasa lebih aman bertahan di posisi yang sudah mereka kenal daripada menjadi karyawan baru yang berisiko menjadi target PHK pertama.
Alasan lain yang tak kalah besar yakni perkembangan AI atau kecerdasan buatan.
Para pekerja memilih bertahan di pekerjaan yang dianggap "stabil" daripada beralih ke peran yang mungkin lebih rentan digantikan oleh AI di masa depan.
Terakhir, ada alasan paling besar yakni keadaan ekonomi yang makin tak menentu. Pekerja, terutama generasi muda, merasa tertekan oleh kenaikan harga kebutuhan sehari-hari.
Mereka akhirnya memilih untuk bertahan dengan gaji tetap dan tunjangan dari pekerjaan saat ini yang menjadi jaring pengaman finansial.
Berkaca dari beberapa alasan tersebut, bisa dipastikan bahwa job hugger tak serta merta menunjukkan bahwa job hugging adalah hal yang mutlak positif.
Job hugging membawa segudang dampak negatif

Beberapa pakar sumber daya manusia setuju bahwa job hugger justru membawa dampak negatif.
Laura Ullrich, Direktur Riset Ekonomi di Indeed Hiring Lab menilai bahwa job hugging membuat karier seseorang mandeg.
Ketika seorang pekerja merasa pekerjaannya jenuh tapi enggan resign adalah mimpi buruk bagi dirinya.
Ia menjadi merasa terjebak dan tak bisa berkembang.
Dr. Diane Hamilton melalui artikel yang ia tulis juga menekankan bahwa ada dampak psikologis dari job hugging.
Motivasi kerja akan menurun drastis lantaran seorang pekerja memilih bekerja karena terpaksa ketimbang karena ia mencintai pekerjaannya.
Si pekerja juga akan makin sering mengalami kecemasan dan gangguan kejiwaan akibat pekerjaan yang tak memberikan ruang nyaman.
Kontributor : Armand Ilham