Perempuan yang menunjukkan sikap tegas kadang dicap agresif, sementara laki-laki dengan perilaku sama justru dianggap pemimpin yang kuat. Ketidakadilan ini memperlihatkan bagaimana performative femininity dapat memperkuat stereotip gender.
Media berperan besar dalam membentuk standar feminitas. Tayangan televisi, iklan kecantikan, hingga media sosial kerap menggambarkan perempuan ideal dengan wajah flawless, tubuh langsing, dan sikap penuh kelembutan.
Akibatnya, banyak perempuan terdorong menyesuaikan diri meski harus mengorbankan kenyamanan pribadi. Tak jarang, kondisi ini menimbulkan tekanan psikologis berupa kecemasan, rasa tidak cukup, atau bahkan depresi.
Meski sering dianggap jebakan sosial, performative femininity tidak selalu berdampak negatif. Jika dijalani dengan kesadaran penuh, gaya feminin bisa menjadi sarana ekspresi diri sekaligus strategi pemberdayaan.
Ada perempuan yang memilih berdandan feminin bukan karena paksaan, melainkan sebagai cara untuk menampilkan identitasnya. Dalam konteks ini, performativitas berubah dari sekadar tuntutan sosial menjadi pilihan yang memberi kekuatan.
Demikian itu informasi soal apa arti performative female. Akhirnya, yang paling penting adalah membedakan mana ekspresi feminin yang lahir dari diri sendiri, dan mana yang muncul karena paksaan sosial. Dengan begitu, perempuan bisa lebih bebas menentukan cara mengekspresikan identitasnya tanpa harus selalu mengikuti panggung yang ditentukan orang lain. Semoga bermanfaat.
Kontributor : Mutaya Saroh