Suara.com - Sepak terjang Menteri Keuangan Purbaya jelas menyita perhatian banyak orang. Setelah heboh pemotongan anggaran daerah, terbaru dirinya dikabarkan ingin membersihkan mafia ilegal dan importir yang tidak taat aturan terkait thrifting. Tapi sedikit melangkah ke belakang, sebenarnya bagaimana sejarah thrifting di Indonesia?
Thrifting sendiri berasal dari kata thrift, yang berarti penghematan. Aktivitasnya kemudian merujuk pada kegiatan untuk menemukan barang bekas, lebih spesifik pada pakaian bekas, untuk memperoleh produk berkualitas dengan harga yang terjangkau.
Aktivitas ‘berburu’ pakaian bekas ini kemudian ditunjang dengan masuknya balpress impor dari luar negeri yang didatangkan para importir, yang ternyata tak sedikit diantaranya menyalahi aturan yang berlaku di Indonesia.
Thrifting di Indonesia dari Masa ke Masa
![Ilustrasi - Lokasi Thrifting di Medan. [Antara]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/03/25/44686-thrifting-di-medan.jpg)
Jika melihat sejarahnya di dunia, budaya ini sebenarnya sudah terdeteksi pada tahun 1300-an di Inggris. Artinya, thrifting bukanlah hal baru.
Meski demikian, hal ini baru masuk ke Indonesia pada tahun 1980-an, bermula dari wilayah pesisir laut Indonesia yang berbatasan dengan negara-negara tetangga.
Seiring berjalannya waktu, impor pakaian bekas juga mulai tumbuh dan berkembang. Di Jawa, periode tahun 1990 hingga 2000 budaya ini mulai berkembang pesat, menjamur dari Bandung, Jakarta, Yogyakarta, hingga ke Surabaya.
Sedikitnya ada lima alasan mengapa kemudian budaya thrifting ini dapat berkembang dengan pesat di wilayah Indonesia.
- Pertama, memberikan alternatif untuk memperoleh pakaian dengan kualitas baik tanpa harus mengeluarkan dana yang terlalu besar.
- Kedua, dianggap sebagai cara untuk mendukung praktik sustainable fashion dengan memperpanjang usia hidup pakaian dan mengurangi limbah tekstil akibat fast fashion yang menjamur.
- Ketiga, menawarkan pilihan pakaian yang unik, langka, dan vintage, terkadang memiliki nilai yang jauh lebih besar dari materinya.
- Keempat, memungkinkan siapa saja menemukan pakaian yang mencerminkan kepribadian mereka, memberikan ruang berekspresi tanpa biaya yang besar.
- Kelima, eksplorasi gaya pribadi tanpa harus mengikuti tren yang tengah berkembang sekarang ini.
Perkembangan thrifting sendiri sejatinya terus terjadi secara perlahan tapi pasti.
Baca Juga: Hasan Nasbi Sentil Gaya Komunikasi, Menkeu Purbaya Beri Jawaban Menohok!
Keberadaan media sosial yang belakangan muncul membawa dampak positif dalam menyebarkan kesadaran masyarakat pada opsi ini, meski kemudian juga dianggap sebagai tantangan pada pelaku thrifting yang harus semakin cermat dalam memilih pakaian yang mereka gunakan.
Thrifting Ilegal

Di kemudian hari, thrifting kemudian turut diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Thun 2022.
Thrifting yang menyalahi aturan adalah impor pakaian bekas, sebab hal ini dianggap merugikan industri dalam negeri.
Di sisi lain, impor pakaian bekas juga dapat memiliki risiko kesehatan yang tidak kecil, bersamaan dengan dampak lingkungan yang kian parah karena masuknya ribuan ton pakaian bekas yang cepat atau lambat akan menjadi masalah lingkungan.
Langkah Tegas Menteri Keuangan