Suara.com - Pelaku perdagangan manusia dilaporkan menyiksa warga etnis Rohingya, Myanmar, di sebuah rumah bagian utara Malaysia. Para pelaku yang awalnya beroperasi di kawasan hutan Thailand memindahkan aktivitasnya ke Malaysia karena sedang diburu pemerintah Bangkok.
Kepolisian Malaysia di negara bagian Penang dan Kedah dalam operasi penyergapan, menemukan empat warga Rohingya dalam kondisi dirantai di sebuah apartemen. Sebagian besar dari puluhan ribu pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari negaranya dengan kapal kecil, berujung dengan jatuh ke tangan kelompok ilegal di Thailand.
Para pelaku menahan mereka sampai ada anggota keluarga yang mau menebus dengan uang senilai ribuan dolar AS. Beberapa di antara para korban itu disiksa dan kemudian tewas, sementara yang lainnya menderita kelaparan.
Investigasi Reuters menemukan beberapa oknum pemerintah Thailand turut bekerja sama dengan kelompok pelaku perdagangan manusia untuk mengusir orang Rohingya ke Malaysia karena kamp pengungsinya sudah terlalu sesak.
Bagi para pengungsi Rohignya, Malaysia adalah negara impian dan sekitar 30.000 orang Rohingya telah lebih dulu hidup di wilayah tersebut. Bahkan ribuan pengungsi Rohingya telah mendapatkan pekerjaan informal di Negeri Jiran tersebut. Malaysia tidak memberikan status pengungsi, namun membiarkan mereka tinggal dan terdaftar di PBB.
Salah satu korban penyekapan Mohamad Einous (19) mengaku lari ke Malaysia bersama 270 temannya pada pertengahan Februari lalu untuk memperbaiki harapan hidupnya.
"Saya yakin dapat mencari uang di sini," kata Einous kepada Reuters.
Namun harapannya hanya berlangsung singkat. Setelah bertemu broker pedagang manusia di perbatasan Malaysia-Thailand, dia bersama teman-temannya disekap dalam rumah dengan jendela yang dicat hitam sehingga dia tidak terlihat dari luar.
Saat berada di rumah tersebut, Eionus dipukul dan diancam akan dibunuh jika orang tuanya di Myanmar tidak membayar 2.000 dolar AS. Ayah Einous kemudian menjual rumah warisan senilai 1.600 dolar AS dan meminjam uang dari keluarga lainnya.(Antara/Reuters)