Suara.com - Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi, pada Rabu (11/12), menolak tuduhan genosida yang dilakukan terhadap minoritas Muslim Rohingya di negaranya.
Menyebut tuduhan tersebut sebagai hal yang "tidak lengkap dan menyesatkan", Suu Kyi mengatakan kasus itu seharusnya tidak diadili oleh Pengadilan Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Peraih Nobel Perdamaian itu, yang berbicara selama tiga hari persidangan di Pengadilan Internasional, menantang tuduhan dalam gugatan yang diajukan oleh Gambia bulan lalu yang menuduh Myanmar melanggar Konvensi Genosida 1948.
Suu Kyi, yang pernah dianggap sebagai pahlawan demokrasi di Barat, berbicara selama 30 menit di ruang sidang di Den Haag untuk membela tindakan militer Myanmar yang selama bertahun-tahun membuatnya menjadi tahanan rumah.
Dia mengatakan "operasi pembersihan" yang dipimpin militer di Negara Bagian Rakhine barat pada Agustus 2017 adalah tanggapan atas kontraterorisme terhadap serangan militan Rohingya yang terkoordinasi terhadap puluhan kantor polisi.
"Gambia telah menempatkan gambaran yang tidak lengkap dan menyesatkan tentang situasi faktual di negara bagian Rakhine di Myanmar," katanya saat membuka pernyataan pembelaan bagi Myanmar.
Sementara Suu Kyi mengakui bahwa kekuatan militer yang tidak proporsional mungkin telah digunakan dan warga sipil tewas, dia mengatakan tindakan itu bukan merupakan genosida.
"Tentunya, dalam keadaan itu, niat genosida tidak bisa menjadi satu-satunya hipotesis," katanya kepada panel yang terdiri dari 17 hakim.
"Mungkinkah ada niat genosida dari negara yang secara aktif menginvestigasi, menuntut, dan menghukum tentara dan perwira yang dituduh melakukan kesalahan?" ia melanjutkan.
Baca Juga: Asal Tak Banyak Permintaan, Myanmar Jamin Keamanan Repatriasi Rohingya
Lebih dari 730.000 warga Rohingya melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh setelah militer melancarkan serangan.
Tahun lalu, militer Myanmar mengumumkan bahwa tujuh tentara yang terlibat dalam pembantaian 10 pria dan anak laki-laki Rohingya di desa Inn Din pada September 2017 telah dijatuhi hukuman "10 tahun penjara dengan kerja paksa di daerah terpencil".
Mereka adalah satu-satunya personel keamanan yang militer katakan telah dihukum atas operasi 2017. Mereka diberikan pembebasan awal setelah kurang dari satu tahun di penjara.
Akhir bulan lalu, militer mengatakan telah memulai pengadilan militer dengan jumlah tentara yang tidak ditentukan atas kejadian di desa lain, Gu Dar Pyin, tempat pembantaian 10 warga Rohingya.
Standar Tinggi

Suu Kyi mendengarkan dengan tenang pada Selasa ketika pengacara pihak Gambia merinci kesaksian nyata tentang penderitaan Rohingya di tangan pasukan keamanan Myanmar.