Suara.com - Di kota Mataram, mitigasi bencana melibatkan kearifan lokal. Di antaranya bedug masjid. Mitigasi bencana dari kearifan lokal yang masih dipelihara dan nilai efektif memberikan informasi dan peringatan dini bencana kepada masyarakat adalah kentongan dan beduk.
Kentongan dan beduk, hingga kini masih menjadi EWS (early warning system) atau sistem peringatan dini menjadi bagian penting dari mekanisme kesiapsiagaan masyarakat karena peringatan dapat menjadi faktor kunci penting yang menghubungkan antara tahap kesiapsiagaan dan tanggap darurat.
Ide ini dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Dua alat mitigasi bencana dari kearifan lokal biasanya akan dibunyikan ketika ada satu bencana yang terjadi di sebuah lokasi.
"Dua kearifan lokal itu masih kita manfaatkan sebagai mitigasi bencana. Lainnya, sudah berubah sesuai perkembangan zaman dan teknologi," kata Sekretaris Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Mataram Akhmad Muzaki di Mataram, Jumat.
"Untuk beduk biasanya dilakukan masyarakat di masjid-masjid sedangkan kentongan dibunyikan di banjar-banjar umat Hindu," tambahnya.
"Kentongan dan beduk merupakan tindakan memberikan informasi dengan bahasa yang mudah dipahami masyarakat," katanya.
Dengan target, agar masyarakat dapat merespon informasi tersebut dengan cepat dan tepat karena kesigapan dan kecepatan reaksi masyarakat diperlukan karena waktu yang sempit dari saat dikeluarkannya informasi datangnya bencana.
Sementara peringatan dini bencana yang sudah berkembang mengikuti teknologi saat ini antara lain, kata Muzaki, bisa lakukan dengan membunyikan sirene dan pengeras suara.
Baca Juga: Sekjen MUI Sesalkan Aksi Pembongkaran Tiang Masjid di Bireuen Aceh: Melukai Hati Warga Muhammadiyah
"Khusus untuk pendeteksi bencana tsunami, kita sudah punya EWS tsunami di pinggir Pantai Penghulu Agung. Pada tanggal 26 setiap bulan, kita tetap aktivasi untuk memastikan alat tersebut masih berfungsi baik," katanya.