Pusat Bantuan AS-Israel di Gaza Palestina Jadi 'Jebakan Pembantaian' Warga Sipil

M Nurhadi Suara.Com
Kamis, 05 Juni 2025 | 07:09 WIB
Pusat Bantuan AS-Israel di Gaza Palestina Jadi 'Jebakan Pembantaian' Warga Sipil
Ilutrasi suasana Gaza, Palestina. [ANTARA/Anadolu/py]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Tragedi kemanusiaan di Jalur Gaza kian memburuk dengan insiden penembakan yang menewaskan puluhan warga sipil di dekat pusat distribusi bantuan yang didirikan oleh entitas yang didukung AS-Israel. Insiden pada Ahad (1/6/2025) dini hari di Rafah, Gaza selatan, ini memicu kemarahan dan kecurigaan mendalam dari warga setempat serta komunitas internasional.

Seorang ibu bernama Nawal Al Masri, yang putranya termasuk di antara korban terluka, menyebut kejadian ini sebagai "jebakan". Dengan nada geram, Al Masri mempertanyakan niat di balik pendirian lokasi distribusi bantuan yang justru menjadi arena penembakan terhadap warga Palestina yang sudah sangat menderita akibat blokade panjang Israel. "Apakah ini yang mereka sebut bantuan? Bantuan ini untuk membunuh orang," ujarnya kepada CNN, mencerminkan keputusasaan dan kemarahan yang meluas di kalangan penduduk Gaza.

Otoritas Gaza melaporkan bahwa 31 warga sipil tewas dan sekitar 200 lainnya terluka dalam insiden tersebut. Para korban diduga ditembaki oleh pasukan Israel (IDF). Gambar yang diperoleh CNN menunjukkan banyaknya korban yang tiba di Rumah Sakit Nasser di Khan Younis, Gaza selatan, hingga membuat kepala rumah sakit lapangan itu, Marwan Al Hams, kewalahan. Al Hams mengungkapkan bahwa luka-luka yang diderita korban umumnya adalah luka tembak yang terkonsentrasi di bagian atas tubuh.

Di sisi lain, IDF mengeluarkan pernyataan bahwa pasukannya melepaskan tembakan beberapa kali setelah mengidentifikasi "beberapa tersangka bergerak ke arah mereka, menyimpang dari rute akses yang ditentukan." Namun, narasi ini berulang kali dibantah oleh kesaksian korban dan laporan media independen.

Tragedi pada 1 Juni bukanlah insiden pertama. Al Jazeera melaporkan bahwa penembakan terhadap warga Gaza di dekat pusat bantuan yang dioperasikan Gaza Humanitarian Foundation (GHF) ini merupakan kejadian ketiga kalinya dalam waktu singkat. Peristiwa serupa sebelumnya terjadi pada 27-28 Mei 2025, ketika GHF mulai mendistribusikan bantuan di Rafah di bawah pengawasan IDF.

Ribuan warga Palestina yang kelaparan akibat blokade Israel berbondong-bondong untuk mendapatkan paket makanan. Namun, kerumunan yang besar seringkali berakhir dalam kekacauan, dengan warga yang memanjat pagar dan mendorong koridor yang penuh sesak untuk mencapai pasokan bantuan, yang mengakibatkan kericuhan, bahkan penjarahan dan tindak kekerasan.

Kantor Media Pemerintah Gaza pada 28 Mei menyatakan bahwa IDF telah menewaskan sepuluh warga sipil dan melukai 62 lainnya selama 48 jam sebelumnya di lokasi distribusi bantuan. Kemudian, pada 31 Mei, sumber medis Palestina menyebut tiga warga tewas di Rafah saat mencoba mencapai pusat distribusi bantuan, dan Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan peningkatan korban tewas menjadi 17 orang, 86 luka-luka, serta 5 orang hilang, sebelum insiden 1 Juni.

Dalam setiap kejadian, IDF selalu membantah telah menembaki warga sipil di dekat atau di dalam lokasi distribusi bantuan. IDF bahkan merilis rekaman yang diklaim menunjukkan orang-orang bersenjata menembaki warga sipil yang akan mengambil bantuan. Seorang pejabat militer Israel juga mengakui bahwa pasukan hanya melepaskan tembakan peringatan jauh dari lokasi bantuan, namun membantah adanya hubungan dengan "tuduhan palsu" terhadap IDF.

Duta Besar AS untuk Israel, Mike Huckabee, juga menolak laporan penembakan atau pembunuhan oleh IDF terhadap warga yang menerima bantuan dari GHF.

Baca Juga: Prabowo: Indonesia Siap Akui Israel Sebagai Negara dan Buka Hubungan Diplomatik, Asal...

GHF sendiri merupakan organisasi yang baru didirikan pada Februari 2025, berbasis di Delaware, AS, dengan tujuan mendistribusikan bantuan di Gaza. Organisasi ini disebut mendapatkan dukungan dari pemerintahan Presiden AS Donald Trump dan restu dari otoritas Israel di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Netanyahu. Latar belakang ini semakin menguatkan kecurigaan, mengingat Israel tidak mengizinkan badan PBB seperti UNRWA untuk mendistribusikan bantuan ke Palestina.

"Kedok" dan Dehumanisasi Warga Gaza

Berbagai kritik tajam dialamatkan kepada GHF, menuduh bahwa lembaga tersebut hanyalah "kedok" untuk menyembunyikan agenda Israel yang lebih besar: mengurangi jumlah penduduk Gaza dan bahkan menguasai wilayah tersebut sepenuhnya. Sebuah laporan dari lembaga pemberitaan nonprofit Democracy Now!, melalui wawancara dengan jurnalis investigatif Jeremy Scahill, mengungkapkan bahwa GHF dapat berdiri dengan bantuan individu yang memiliki kaitan dengan CIA dan badan intelijen Israel.

Menurut Scahill, motif di balik pendirian GHF adalah tekanan yang dihadapi Netanyahu dari para pendukung Israel di AS. Mereka tidak ingin gambaran kelaparan yang meluas di Palestina menghambat kemampuan AS untuk terus mempersenjatai dan mendukung rezim Netanyahu.

Lembaga bantuan yang didukung AS-Israel ini berdalih bahwa sistem pendistribusian mereka dirancang agar tidak dapat dijarah oleh Hamas, meskipun tidak ada bukti konkret selama ini bahwa Hamas mencuri bantuan yang masuk untuk Palestina.

Di sisi lain, Israel terus-menerus memfitnah Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), menuding lembaga tersebut disusupi Hamas dan melakukan manipulasi lainnya. Akibatnya, parlemen Israel "sukses" melarang operasional UNRWA. Menurut Scahill, kebencian rezim Israel terhadap UNRWA berakar pada fakta bahwa UNRWA berdiri di atas landasan hukum internasional yang kokoh, yang menegaskan hak warga Palestina untuk kembali ke tanah air mereka yang dirampas oleh Israel.

Dengan hilangnya UNRWA dan monopoli distribusi bantuan oleh lembaga seperti GHF yang didukung Israel-AS, Scahill memperingatkan bahwa hal ini menciptakan "kondisi seperti ghetto". Warga Palestina dipaksa untuk berdiri di ruang terbuka yang panas sepanjang hari, dikelilingi pagar kawat berduri, dalam kondisi yang dehumanisasi. Pemandangan seperti sekumpulan manusia di dalam kandang ini, menurut Scahill, adalah bentuk dehumanisasi terhadap warga Palestina, dan bantuan yang diberikan pun tidak seberapa. "Ini semua hanya tipuan yang digunakan untuk melanjutkan genosida," papar Scahill.

Di tengah kontroversi ini, GHF mengumumkan bahwa lokasi distribusi akan ditutup pada Rabu ini, dengan alasan persiapan logistik untuk menangani jumlah besar orang yang datang dengan lebih baik, serta agar militer Israel dapat membuat "persiapan pada rute akses ke pusat-pusat tersebut."

Lebih lanjut, tragedi di Rafah juga menimbulkan dampak signifikan bagi GHF. Laporan The Washington Post pada Selasa (3/6/2025) mengungkapkan bahwa perusahaan konsultan manajemen terkemuka AS, Boston Consulting Group (BCG), yang sebelumnya membantu mengembangkan dan mengelola GHF, kini telah menarik diri dari proyek tersebut.

Juru bicara BCG menyatakan bahwa penarikan diri terjadi di tengah laporan insiden memalukan seputar distribusi bantuan kemanusiaan di Gaza. Sumber yang mengetahui masalah tersebut menyebutkan bahwa GHF akan kesulitan berfungsi tanpa bantuan para ahli konsultan yang menciptakan lembaga tersebut.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga memberikan respons tegas. Sekjen PBB Antonio Guterres mendesak penyelidikan independen dan penyeretan para pelaku ke pengadilan setelah otoritas Gaza melaporkan 31 warga sipil tewas di dekat pusat bantuan. "Saya terkejut dengan laporan warga Palestina yang tewas dan terluka saat mencari bantuan di Gaza. Tidak dapat diterima bahwa warga Palestina mempertaruhkan nyawa mereka untuk makanan," kata Guterres. Ia menekankan bahwa Israel memiliki "kewajiban yang jelas" sesuai hukum internasional untuk mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk dan memastikan staf PBB dapat bekerja dengan aman.

Dewan Keamanan PBB juga dilaporkan akan melakukan pemungutan suara untuk rancangan resolusi yang menyerukan pencabutan segera dan tanpa syarat atas seluruh pembatasan pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza, serta menuntut diberlakukannya gencatan senjata permanen. Sebelumnya, upaya untuk mendorong resolusi gencatan senjata dan pembebasan sandera telah diveto oleh AS pada November 2024.

Sementara itu, bantuan kemanusiaan internasional dari UNRWA ke Gaza terus terhambat, dengan pasokan penting masih tertimbun di Yordania. "Di gudang UNRWA di Amman, hanya tiga jam berkendara dari Gaza, kami memiliki cukup pasokan untuk membantu lebih dari 200.000 orang selama sebulan penuh," kata UNRWA. Mereka menekankan bahwa "aliran pasokan yang lancar dan tak terputus harus diizinkan masuk," termasuk tepung, paket makanan, perlengkapan kebersihan, selimut, dan perlengkapan medis yang siap dikirim.

Dengan berbagai fakta ini, desakan untuk tindakan diplomatik global yang efektif guna memaksa Israel membuka blokadenya dan mengizinkan badan kemanusiaan internasional seperti UNRWA memberikan bantuan menjadi semakin mendesak. Penting untuk menegaskan penegakan hukum humaniter internasional secara efektif, bahkan di tengah veto dari pihak yang mendukung Israel.

Selain itu, sudah semestinya tindakan membiarkan kelaparan bagi warga sipil diakui sebagai kejahatan perang, dan mekanisme akuntabilitas melalui Mahkamah Pidana Internasional harus dapat berjalan serta dipatuhi oleh seluruh pihak terkait.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI