Suara.com - Jawa Timur tercatat sebagai wilayah dengan performa terbaik dalam aspek keamanan pangan, disusul oleh Jawa Tengah. Informasi itu disampaikan Badan Pangan Nasional (Bapanas) saat memperkenalkan Indeks Keamanan Pangan Nasional (IKPN).
Setelah Jawa Tengah, urutan daerah Dedi Mulyadi yakni Jawa Barat di urutan ketiga berdasarkan instrumen pemantauan terbaru dalam menjamin mutu dan keamanan pangan di Indonesia.
Hal itu diketahui pada peluncuran bertepatan dengan peringatan Hari Keamanan Pangan Sedunia di International Convention Center (IICC), Bogor, pada Selasa (24/6/2025).
Deputi Bapanas Bidang Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan, Andriko Noto Susanto, menjelaskan bahwa indeks ini dirancang untuk mengukur kinerja pemerintah daerah dalam menjaga keamanan pangan masyarakat.
“Jawa Timur menjadi yang tertinggi tahun ini, menunjukkan komitmen kuat dalam pengawasan dan regulasi pangan,” katanya kepada wartawan.
Penilaian dalam IKPN menggunakan lima kategori utama, termasuk ketersediaan kebijakan daerah seperti peraturan daerah (perda), peraturan bupati, atau wali kota yang mengatur keamanan pangan.
Selain itu, kegiatan sampling produk secara rutin, pendataan produk pangan berizin edar, pelacakan asal-usul bahan pangan, serta sistem pengendalian penyakit menular menjadi indikator penting.
Aspek lain yang turut dinilai mencakup kesiapan laboratorium pengujian pangan serta infrastruktur penyimpanan yang memadai di tiap wilayah.
“Bukan hanya soal dokumen regulasi, tapi juga bagaimana pelaksanaannya berdampak ke masyarakat. Kalau masih banyak penyakit menular, berarti sistemnya belum cukup efektif,” tambahnya.
Baca Juga: Kasus Korupsi Dana Hibah Jatim, KPK Sita Aset Milik Legislator Gerindra Anwar Sadad di Dua Lokasi
Andriko menekankan bahwa tingginya nilai IKPN seharusnya selaras dengan meningkatnya kesehatan masyarakat. Artinya, keamanan pangan tak hanya dinilai dari sistem pengawasan, tetapi juga harus mencerminkan kondisi riil di lapangan.
Kerugian Rp551 Triliun Akibat Sampah Pangan
Bikin geger, mungkin kata itu tepat jika ditunjukkan kepada kerugian hingga ratusan triliun akibat sampah pangan. Hal itu diungkap Badan Pangan Nasional (Bapanas).
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi mengatakan bahwa sampah pangan masih bisa bernilai ekonomi jika dimanfaatkan sebelum dibuang ke TPA.
"Jadi ada incinerator segala macem itu terakhir. Yang harus kita lakukan sebelum jadi sampah pangan kita harus bisa manfaatkan," kata Arief di sela meninjau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Yayasan Citra Sinergi Peduli di Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa 24 Juni 2025, dilansir dari Antara.
Arief menegaskan, pengurangan sampah pangan tidak bisa dilakukan sendiri, melainkan harus melibatkan berbagai pihak, dengan pembuangan ke TPA sebagai langkah terakhir dalam piramida pengelolaan sampah pangan nasional.
Ia menegaskan, sebelum bahan pangan menjadi sampah, masyarakat harus bisa memanfaatkannya terlebih dahulu agar tetap bernilai dan tidak langsung berakhir di tempat pembuangan akhir atau incinerator.
Arief menyampaikan pemilahan antara sampah organik, anorganik, dan plastik harus diperkuat agar setiap jenis dapat diolah sesuai fungsinya, termasuk memberi nilai tambah ekonomi bagi masyarakat.
Sampah organik seperti sisa makanan dapat diolah menjadi pakan maggot atau kompos, sementara minyak jelantah dan plastik bisa dikumpulkan untuk didaur ulang dan menghasilkan pendapatan tambahan.
"Kalau masih bisa dimanfaatkan itu dibiasakan, sampah anorganik, sampah plastik. Yang plastik buat apa, yang organik buat apa. Jadi bicara food waste itu penangananya terakhir yang dibuang ke TPA, itu terakhir," ujarnya.
Arief menekankan pentingnya memperhatikan aspek ekonomi dari pengelolaan sampah agar kesadaran masyarakat tumbuh dalam melihat bahwa sampah masih memiliki potensi manfaat yang besar.
"Kalo plastik itu ada pengumpulnya lagi, minyak jelantah ada pengumpulnya lagi. Dan itu masih jadi uang lagi loh, aspek ekonominya yang harus disampaikan kepada publik," imbuh Arief.
Sebelumnya, Direktur Kewaspadaan Pangan Bapanas Nita Yulianis menyatakan, tingginya intensitas sampah pangan di Indonesia menyebabkan kerugian ekonomi signifikan yang diperkirakan mencapai sekitar Rp551 triliun per tahun.
Oleh karena itu, penanganan sisa pangan atau pangan berlebih saat ini telah menjadi isu serius serta memerlukan perhatian berbagai pihak tidak hanya sektor pangan namun juga pihak lainnya seperti pariwisata.
"Akibat besarnya intensitas sampah pangan ini setidaknya dampak kerugian ekonomi yang diperkirakan mencapai sekitar Rp551 triliun per tahun atau setara dengan 4-5 persen PDB Indonesia," kata Nita saat menjadi narasumber pada Forum Jejaring Industri Pariwisata Berkelanjutan sebagaimana keterangan di Jakarta, Jumat (16/5).
Oleh karena itu, dia mengajak semua pihak termasuk pelaku pariwisata untuk mengambil peran aktif dalam upaya penanganan sisa pangan pada sektor tersebut dalam upaya mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan.
Ia menyebutkan, Indonesia tercatat membuang sampah makanan antara 23 juta hingga 48 juta ton per tahun. Beragam dampak yang muncul dari kondisi tersebut, seperti dampak ekonomi serta dampak emisi gas rumah kaca.
Bapanas sejak 2022 terus mendorong Gerakan Selamatkan Pangan (GSP) melalui kolaborasi dengan berbagai pihak mulai akademisi, bisnis, masyarakat, pemerintah, dan media untuk mengurangi sisa pangan secara terukur dan berkelanjutan.