Suara.com - Sebuah "perang" sunyi namun penuh makna tengah berkecamuk di tembok-tembok jalanan Sragen, dan kini viral menjadi perbincangan panas di seluruh Indonesia.
Berawal dari penghapusan sebuah mural bertema anime populer One Piece, warga membalas dengan cara yang cerdas dan menohok yakni menggantinya dengan lukisan ikonik "tikus berdasi", sebuah simbol perlawanan terhadap korupsi yang sudah mendarah daging.
Insiden ini bukan sekadar vandalisme yang ditimpa vandalisme lain.
Ini adalah cerminan dari pertarungan antara ekspresi seni budaya pop yang dianggap tidak berbahaya melawan kekuasaan yang dianggap represif.
Warga Sragen seolah mengubah tembok jalanan menjadi kanvas protes, mengirimkan pesan yang jauh lebih keras dari gambar Monkey D. Luffy yang telah dibungkam.
Awal Mula: Saat Seni Pop Dibungkam
Semuanya berawal dari sebuah mural yang menghiasi salah satu sudut jalan di Sragen.
Mural tersebut menampilkan karakter dari One Piece, sebuah serial anime dan manga yang memiliki jutaan penggemar di Indonesia.
Gambar tersebut, seperti karya seni jalanan lainnya, menjadi pemanis kota dan bentuk ekspresi kreatif anak muda setempat.
Baca Juga: Prabowo Gak Masalah, Khofifah Ngotot Larang Bendera One Piece Dikibarkan di Jatim, Mengapa?
Namun, keindahan itu tidak berlangsung lama. Tanpa peringatan yang jelas, mural tersebut dihapus atau dicoret.
Tindakan ini memicu kekecewaan dan kemarahan di kalangan warga, terutama komunitas muda dan para seniman jalanan. Mereka merasa ekspresi kreatif mereka yang tidak politis dan tidak merugikan siapa pun telah diberangus secara sewenang-wenang.
"Kenapa gambar anime yang dihapus? Apa salahnya Luffy?" tulis seorang warganet di media sosial, menyuarakan kebingungan banyak orang.
Alih-alih diam dan menerima, para seniman atau warga setempat memberikan respons yang tidak terduga. Mereka tidak menggambar ulang karakter One Piece yang sama.
Mereka justru melukis sebuah simbol yang jauh lebih provokatif di atas sisa-sisa mural yang dihapus itu: seekor tikus yang mengenakan jas dan dasi.
Bagi siapa pun yang memahami budaya sosial-politik Indonesia, gambar ini memiliki arti yang sangat dalam.
Tikus Berdasi: Ini adalah idiom yang sangat populer untuk menggambarkan para pejabat korup.
"Tikus" merujuk pada sifatnya yang suka menggerogoti (uang rakyat) secara sembunyi-sembunyi, sementara "dasi" melambangkan jabatan dan posisi mereka di pemerintahan atau perusahaan.
Dengan melukis "tikus berdasi", warga seolah mengirimkan pesan balasan:
"Kalian boleh hapus hiburan dan seni kami yang tidak berbahaya. Sebagai gantinya, kami akan pajang gambar yang merepresentasikan apa yang kami pikirkan tentang kekuasaan yang menindas: korup."
Lebih dari Sekadar Mural: Seni Sebagai Senjata Protes
Insiden di Sragen ini adalah contoh sempurna bagaimana seni jalanan (street art) telah berevolusi menjadi salah satu senjata paling efektif untuk kritik sosial di Indonesia.
Ketika suara di parlemen atau media massa terasa jauh, tembok jalanan menjadi parlemen rakyat.
Kasus ini mengingatkan publik pada fenomena serupa lainnya, seperti mural "Tuhan, Aku Lapar" atau "Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit" yang juga dihapus aparat karena dianggap mengkritik pemerintah.
Penghapusan mural justru seringkali menjadi "Efek Streisand"semakin dilarang, semakin viral dan pesannya semakin menyebar luas.
Menariknya, banyak warganet yang juga mengaitkan perlawanan warga Sragen ini dengan semangat cerita One Piece itu sendiri, di mana sang tokoh utama, Monkey D. Luffy dan kawan-kawannya, selalu berjuang melawan "Pemerintah Dunia".
Perang mural di Sragen ini menjadi bukti bahwa kreativitas adalah bentuk perlawanan yang tidak bisa sepenuhnya dibungkam. Satu gambar dihapus, seribu sindiran bisa lahir sebagai gantinya.
Menurutmu, apakah aksi balasan warga Sragen dengan melukis 'tikus berdasi' adalah langkah yang tepat dan cerdas?
Ataukah ada cara lain yang lebih efektif untuk memprotes penghapusan mural? Bagikan pendapatmu di kolom komentar!