Kisah Satu Keluarga di Makassar Tewas Dibantai Saat Laga Mike Tyson

Muhammad Yunus Suara.Com
Selasa, 12 Agustus 2025 | 13:53 WIB
Kisah Satu Keluarga di Makassar Tewas Dibantai Saat Laga Mike Tyson
Ilustrasi pembunuhan satu keluarga di Kota Makassar, Minggu 19 Agustus 1995 [Suara.com]

Suara.com - Pagi itu, Minggu 19 Agustus 1995. Dunia tinju sedang bersiap menyaksikan kembalinya Mike Tyson, yang baru bebas dari penjara, melawan Peter McNeeley.

Di Makassar, masyarakat antusias menonton laga yang paling ditunggu tahun itu.

Di sebuah rumah di Jalan Karunrung, Kota Makassar, satu keluarga sedang berkumpul.

Mereka terpaku pada aksi "Si Leher Beton" di layar TV tabung di sebuah ruangan.

Mereka tak sadar dengan kehadiran Rusli, pemuda 19 tahun yang akrab disapa Daeng Ulli.

Ulli menyusup masuk ke rumah itu lewat pintu belakang sambil memegang kapak. Di pintu lain, lima orang sudah menunggu.

Ulli mendapat pesan dari seseorang untuk menghabisi nyawa pemilik rumah itu, Ahmadi.

"Waktu itu ada yang order jasa saya. Dia bilang ada masalah sama Ahmadi. Bayarannya Rp10 juta. Tahun itu nilainya besar sekali, setara ratusan juta sekarang," kenang Ulli dikutip dari youtube Tribun Timur.

Namun, uang itu tak pernah ia terima hingga kini. Ulli bilang 'dipattolo-tolo' atau ditipu. Sang otak pembunuhan malah lari ke Jakarta.

Baca Juga: Fakta-Fakta Pembunuhan Tiwi BPS Haltim, Disekap hingga Dilecehkan

"Setelah saya membunuh dan sampai sekarang bebas, saya tidak pernah bertemu dengan orang yang order itu. Saya tahunya orang itu lari ke Jakarta. Makanya saya sampai kejar ke Jakarta, tapi ditangkap," terangnya.

Apa Motif Pembunuhan Tersebut?

Menurut pengakuannya, waktu serangan sudah ia rencanakan bersama pelaku lain. Pukul 10.00 wita pagi, ia tahu orang-orang akan terpaku pada laga Mike Tyson.

"Dulu kan Tyson sangat terkenal. Jadi di pikiran saya orang akan sibuk nonton di jam itu. Saya diam-diam masuk ke rumahnya ambil kesempatan," katanya.

Awalnya, Ulli mengaku targetnya hanya Ahmadi. Namun, ketika ia dan komplotannya berhasil menyusup, mereka melihat seluruh keluarga korban berada dalam satu ruangan.

Ada tujuh orang di rumah itu. Selain Ahmadi, ada istrinya Syamsiah, empat orang anaknya dan seorang pembantu.

Keputusan gelap pun diambil. Tak boleh ada saksi.

"Kalau misal salah satu dari keluarganya tidak dibunuh, akan ketahuan. Jadi dengan inisiatif anggota jadi dihabisi sendiri," sebutnya.

Para korban dibantai dengan sadis. Darah tercecer di lantai.

Beberapa menit kemudian Karunrung menjadi saksi salah satu pembantaian paling mengerikan dalam sejarah kriminal Makassar.

Polisi kemudian bekerja cepat. Tak lama setelah pembunuhan, petugas langsung mengidentifikasi para tersangka lewat data warga yang meninggalkan lingkungan sekitar.

Dua hari setelah kejadian, Ulli sudah dalam pengejaran. Barang bukti berupa baju berlumur darah dan kapak diperlihatkan di Polrestabes Makassar.

"Pas rumah saya didata, orang bilang ada anaknya meninggalkan rumah saat tanggal ini. Kan setelah kematian Ahmadi itu saya melarikan diri dua hari. Makanya saya diburu sama polisi," ucapnya.

Ulli sebenarnya bukanlah orang asing bagi korban. Mereka bertetangga, hanya saja tak akrab.

Latar belakangnya penuh kekerasan jalanan. Hal tersebut menurutnya jadi salah satu faktor ia nekat menghabisi nyawa Ahmadi dan keluarganya.

"Selain karena uang, juga saat itu saya masih dalam kondisi emosional yang labil. Orang Makassar bilang Talekang atau mau dibilang. Itu salah satu faktor kenapa saya berani," ucapnya.

Di persidangan, Ulli dijatuhi hukuman seumur hidup. Namun, kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang menghapus vonis seumur hidup dan mengubahnya didakwa 20 tahun.

Karena berkelakuan baik di penjara, Ulli mendapat remisi. Ia bebas setelah 15 tahun mendekam di penjara.

Pelaku utamanya? Ulli bilang belum tertangkap hingga kini.

"Belum tertangkap. Padahal kami semua yang ditangkap itu berbicara sama kepolisian, saya yang eksekusi, ini yang order, ini yang bantai. Itu di-BAP semua," katanya.

Dihantui Korban

Di penjara, Ulli mengaku kerap dihantui korban.

"Yang namanya bunuh orang, pasti ada rasa lain, dihantui," akunya.

Ia bilang, untuk melewati rumah korban bahkan trauma. Rasa penyesalan selalu ada.

Lingkungan, kata Ulli, adalah salah satu faktor yang membentuk dirinya saat itu.

"Apa yang saya terima dulu tidak sebanding dengan perbuatan yang saya lakukan. Saya menyesal," sebutnya.

Kini, ia memimpin sebuah organisasi masyarakat bernama Lebah Hitam dan mengaku bekerja halal.

Hingga kini, ia belum pernah bertemu keluarga korban untuk meminta maaf secara langsung. Namun, ia mengaku sangat menyesal.

"Saya bertekad untuk tidak lagi nekat melakukan hal yang bisa merugikan orang lain dan diri sendiri. Saya sudah bekerja dengan lebih baik dan halal. Jadi sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga," katanya.

Tiga puluh tahun berlalu, Karunrung telah banyak berubah. Rumah korban yang dulu terbengkalai kini sudah berpenghuni.

Meski begitu, kisah pembunuhan sadis itu masih membekas jelas di ingatan warga Makassar.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI