Suara.com - Amnesty International Indonesia (AII) menyoroti masih maraknya kriminalisasi terhadap ekspresi politik damai di Papua dan Maluku, bahkan hingga tahun ini. Dalam refleksi 80 tahun kemerdekaan, lembaga ini mencatat ratusan aktivis justru dijerat pasal makar hanya karena menyuarakan aspirasi kemerdekaan secara damai.
Sejak Januari 2019 hingga April 2025, sebanyak 145 aktivis Papua dan Maluku dipidana dalam 86 kasus makar.
Amnesty mendokumentasikan terdapat 46 kasus dengan 58 korban pada 2019, lalu 10 kasus dengan 28 korban di 2020, 8 kasus dengan 22 korban di 2021, 15 kasus dengan 24 korban di 2022, 4 kasus dengan 4 korban di 2023, serta 2 kasus dengan 5 korban di 2024. Sementara pada Januari–April 2025, tercatat 1 kasus dengan 4 korban.
“Mereka dipidana menggunakan pasal 106 dan 110 KUHP terkait makar hanya karena mengekspresikan pandangan politiknya secara damai, sesuatu yang dulu juga dilakukan oleh para pendiri republik saat melawan penjajah.” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dalam keterangannya, Minggu (17/8/2025).
Amnesty mencatat 70 kasus makar di Papua dengan 127 korban, serta 16 kasus makar di Maluku dengan 18 korban. Bahkan, seorang mahasiswa di Jayapura sampai dua kali dijerat kasus makar pada 2021 dan 2022 hanya karena mengutarakan ekspresi damai.
Dari jumlah itu, 127 orang telah menjalani vonis di tingkat Pengadilan Negeri, sementara 18 lainnya masih berstatus tersangka.
"Amnesty International tidak memiliki posisi terhadap status politik provinsi-provinsi di Indonesia, termasuk apabila ada seruan untuk kemerdekaan diri. Namun, kami percaya bahwa setiap orang berhak menikmati hak atas kebebasan berekspresi, termasuk untuk menyuarakan tuntutan politik secara damai, sesuai dengan hukum HAM internasional," tuturnya.
Ia menambahkan, praktik penangkapan dan penahanan tidak sah yang masih berlangsung di Papua dan Maluku menunjukkan keengganan pemerintah menerima pandangan berbeda.
Pada 28 April 2025, Polresta Sorong Kota menetapkan empat aktivis Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB) sebagai tersangka makar.
Baca Juga: Bendera One Piece di Hari Kemerdekaan: Antara Aksi Kreatif dan Tuduhan Makar
Mereka ditangkap karena mengirim surat ke kantor gubernur Papua Barat Daya, Polresta Sorong Kota, dan Majelis Rakyat Papua Barat Daya berisi ajakan perundingan damai antara pemerintah dengan NRFPB.
Menurut Usman tindakan tersebut sudah tak berdasar.
“Pemerintah dan aparat penegak hukum harus membedakan antara aspirasi kemerdekaan yang damai dengan kegiatan kriminal yang menggunakan kekerasan. Kriminalisasi dan pembatasan ekspresi politik damai harus segera dihentikan,” pungkasnya.