- Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyerukan kader merespons bencana alam dengan kontemplasi dan aksi nyata membantu rakyat Yogyakarta, Sabtu (6/12/2025).
- Seruan tersebut berlandaskan filosofi Bung Karno dan Megawati tentang merawat kehidupan serta menolak kerusakan lingkungan akibat kapitalisasi kekuasaan.
- PDIP DIY diperintahkan bergerak membersihkan sungai dan menjadikan tradisi menanam pohon serta mengumpulkan dana bantuan bencana sebagai aksi konkret.
Suara.com - Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, menyerukan kepada seluruh kader partai untuk merespons bencana alam dengan kontemplasi mendalam dan gerakan nyata membantu rakyat.
Seruan ini berlandaskan filosofi menghargai kehidupan yang diajarkan Bung Karno dan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri, yang diyakini sebagai inti dari politik lingkungan hidup partai.
Dalam sambutannya saat Konferda DPD PDIP DIY di Yogyakarta, Sabtu (6/12/2025), Hasto menyebut serangkaian bencana alam dan banjir di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sebagai tanda bahwa alam raya sedang menuju ketidakseimbangan.
"Kalau kita lihat secara kebatinan yang tumbuh subur di Jogja, maka nampak bagaimana alam raya saat ini terjadi ketidakseimbangan. Jadi seperti dalam cerita wayang itu sekarang terjadi Goro-Goro di republik ini akibat ulah kita yang merusak alam," tegas Hasto Kristiyanto.
Hasto menjelaskan inti filosofi tersebut melalui pengalaman dan kebiasaan langsung bagaimana Bung Karno melarang ijin konsesi hutan ke korporasi dan Megawati merawat kehidupan dengan tidak mengijinkan penambahan konsesi lahan sawit serta menjadikan gerakan menanam pohon sebagai kultur Partai.
Contoh sederhana, Megawati punya kebiasaan mengumpulkan biji salak, mangga, klengkeng, dan durian.
"Semua biji-bijian itu dilarang dibuang dan setelah dipersiapkan lalu ditanam. Jadilah Ibu Mega memiliki kebon penuh tanaman dari biji-bijian yang dikumpulkan. Setiap biji-bijian, apalagi pohon punya hak untuk hidup," ujar Hasto menirukan Megawati.
Hasto melanjutkan hal itu bukanlah satu-satunya teladan dari Megawati.
"Ibu Mega, kalau Anda datang ke Teuku Umar, Anda disajikan kopi sama teh. Itu kalau tehnya sisa, itu bukan dibuang, dikumpulkan karena dia organik, dikembalikan pada tanaman. Kalau Ibu Mega makan kacang, kulit kacang itu dikumpulkan, tidak boleh dibuang, ditaruh di atas tanaman karena dia menyuplai kalium," papar Hasto dengan rinci.
Baca Juga: Sawit Bikin Sewot: Kenapa Dibilang Bukan Pohon, Jadi Biang Kerok Banjir Sumatra?
Ia menegaskan, tindakan sederhana ini berasal dari nilai yang ditanamkan Bung Karno dan Megawati tentang merawat pertiwi, yang bertitik tolak dari ajaran Tat Twam Asi (engkau adalah aku, aku adalah engkau).
“Setiap pohon itu juga punya jiwa, punya kehidupan. Kalau kita mencintai pohon, maka mereka bukan hanya menghasilkan oksigen, mereka juga akan mencintai dan ikut merawat Indonesia Raya kita," kata Hasto.
Pria kelahiran Yogyakarta itu kemudian mengaitkan kerusakan lingkungan dengan sistem yang tidak adil.
"Bagaimana lingkungan telah dirusak akibat kapitalisasi kekuasaan politik yang luar biasa, sehingga lahan-lahan hutan dikonversi menjadi lahan-lahan sawit. Padahal Ibu Mega mengatakan sawit adalah tanaman yang arogan," tegasnya.
Ia menyatakan bahwa bencana alam juga merupakan akibat dari ketiadaan keadilan, terutama dalam penguasaan lahan dan tidak adanya penegakan hukum atas tambang ilegal dan pembalakan liar.
"Karena bencana ini akibat tidak adanya keadilan. Akibat eksklusivitas di dalam penguasaan lahan-lahan oleh penguasa. Tidak ada redistribusi aset sebagaimana dicanangkan oleh Bung Karno," paparnya.