Suara.com - Sepertinya sudah hampir tidak ada orang tua zaman sekarang – angkatan generasi milenial – yang memberi nama anak mereka Budi, Joko, Adi, Sari, Mawar, dan nama-nama umum lainnya yang cara bacanya cenderung sederhana.
Yang lebih sering terdengar sekarang adalah nama-nama seperti Rafathar, Azzalea, Shaquille, dan lain sebagainya yang dapat dibilang lebih rumit untuk dibaca dan seringkali dianggap memiliki nuansa kebarat-baratan.
Dalam memberikan nama pada anak, setiap orang tua pastinya punya pedoman, standar, dan pertimbangan masing-masing. Sebagian besar pertimbangannya biasanya adalah terkait makna.
Namun, dari masa ke masa, tren pemberian nama anak semakin beragam. Para pakar budaya dan bahasa menilai bahwa faktor sosial, budaya, dan wawasan orang tua telah menggeser tren pemberian nama. Mereka mulai meninggalkan kesan tradisional dalam kosakata bahasa daerah dan cenderung memilih kosakata bahasa asing.
Di Jawa, kosakata bahasa Inggris dan Arab makin diminati
Riset yang dilakukan oleh Teguh Setiawan, Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dari Universitas Negeri Yogyakarta, terhadap nama anak-anak yang lahir dalam kurun waktu tahun 2000 hingga 2020 di Jawa Tengah menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun, semakin banyak masyarakat Jawa yang lebih banyak menggunakan pemilihan nama dari kosakata bahasa Inggris dan bahasa Arab. Data dalam riset ini dikumpulkan dari Kartu Keluarga (KK).
Sudah hampir tidak pernah lagi ditemui nama anak di Jawa yang berasal dari kosakata bahasa Jawa, seperti Tukiman, Sutinah, Paini, Endang, dan Bambang. Yang lebih sering ditemukan adalah nama-nama bahasa Inggris, seperti Amanda, Farel, Felisha, Valery, dan Quincy, serta bahasa Arab, seperti Athar, Shezan, Syaqilla, Qiandra, dan Zabdan.
Teguh menyatakan bahwa penamaan anak dengan bahasa asing didominasi oleh keluarga muda – periode kelahiran orang tua tahun 1970-1990. Mereka memilih kosakata yang cenderung rumit dan jarang digunakan oleh orang lain agar nama anak mereka terlihat unik dan modern. Pemilihan tersebut juga dipengaruhi oleh wawasan dan pengetahuan para orang tua itu.
Jumlah kata dalam setiap nama pun, menurut Teguh, mengalami perubahan tren. Banyak anak yang lahir pada era 1960-an hingga 1980-an yang namanya hanya terdiri dari satu kata, seperti Poniyem, Rusdi, dan Parlan. Sementara itu, anak yang lahir tahun 2000-an rata-rata namanya terdiri dari tiga kata atau lebih, contohnya Zalfaa Salsabil Nayya dan Stanislaus Arva Urian Dante.
Baca Juga: Ada Unsur India, Eza Gionino Ungkap Arti Nama Anak Ketiga
“Tren penggunaan bahasa asing untuk nama diri akan semakin meningkat dan akan menjadi tradisi baru yang akan mengubah sistem penamaan masyarakat di Jawa,” ujar Teguh.