Meski hasil awalnya menjanjikan, antivenom baru ini masih perlu melalui uji klinis pada hewan besar dan manusia untuk memastikan efektivitas dan masa kerja obat di dalam tubuh. Ahmadi menyebut bahwa timnya juga berencana menyempurnakan formula agar lebih efisien.
Namun, tantangan terbesar saat ini bukanlah ilmiah, melainkan pendanaan. "Sulit mencari investor untuk penelitian seperti ini," ujar Andreas Hougaard Laustsen-Kiel, rekan peneliti DTU.
"Kebanyakan korban gigitan ular berasal dari daerah miskin dengan akses kesehatan terbatas, jadi secara bisnis, proyek ini memang tidak terlalu menarik bagi investor," tambahnya.
Meski demikian, semangat para peneliti tetap tinggi. Bagi Ahmadi, penelitian ini bukan sekadar eksperimen laboratorium, melainkan misi kemanusiaan. Ia bahkan mengaku menitikkan air mata saat pertama kali melihat hasil uji jaringan yang menunjukkan perbaikan signifikan pada tikus yang disuntik antivenom baru.
"Saya berteriak kegirangan di restoran saat melihat grafik hasilnya di ponsel saya," kenangnya sambil tertawa.
Jika kelak lolos uji klinis dan disetujui untuk penggunaan medis, antivenom dari llama dan alpaka ini bisa menjadi harapan baru bagi jutaan orang di dunia, terutama mereka yang tinggal di daerah pedesaan Afrika, Asia, dan Amerika Latin yang rawan gigitan ular berbisa.
Kontributor : Gradciano Madomi Jawa