Ia secara terbuka menyampaikan keprihatinan terhadap bagaimana sejarah komunitas Maluku nyaris terlupakan dalam buku-buku sejarah Belanda. Menurutnya, pengorbanan para prajurit KNIL yang dulu membela Belanda justru diabaikan begitu saja pasca perang berakhir.
"Saya harus menunjukkan warna asli saya pada tahun 1977. Sebelumnya, banyak orang mengira saya orang Suriname. Saya memperkenalkan diri di media dan di dunia sepak bola sebagai orang Maluku dan saya katakan bahwa saya bersimpati terhadap tindakan orang Maluku," kata Simon Tahamata ke media AD.NL 2007 silam.
"Saya merasa saya harus bersuara. Sejarah kita, nasib orang Maluku, masih belum atau hampir tidak disebutkan dalam buku-buku sejarah Belanda. Ini adalah halaman gelap yang lebih baik ditinggalkan. Itulah sebabnya saya terus menceritakan kisah itu, bahkan empat puluh tahun kemudian."
Salah satu momen penting yang menandai ketegangan antara komunitas Maluku dan pemerintah Belanda adalah peristiwa pembajakan kereta api tahun 1977.
Aksi tersebut dilakukan oleh sekelompok pemuda Maluku sebagai bentuk protes terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil.
Simon menyatakan bahwa ia memahami emosi dan dorongan di balik tindakan tersebut, bahkan merasa bahwa dirinya pun bisa saja ikut dalam gerakan itu jika keadaan hidupnya berbeda.
Komitmen Simon terhadap isu-isu Maluku tidak berhenti di situ.
Setiap tanggal 25 April, ia rutin menghadiri acara di Den Haag untuk memperingati deklarasi berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS) yang diproklamasikan pada 1950.
Bagi Simon, kehadirannya dalam momen tersebut adalah bentuk penghormatan terhadap para leluhur yang telah berjuang demi tanah air leluhurnya.
Baca Juga: Skuat Timnas Indonesia vs China dan Jepang Kegemukan? Sumardji: Itu Pilihan Kluivert
Pengaruh untuk Generasi Mendatang
Dalam media itu, Simon Tahamata juga mengatakan percaya bahwa perjuangan identitas tidak boleh berhenti pada generasi dirinya saja.
Ia mengajak generasi ketiga dan keempat keturunan Maluku untuk terus mempelajari sejarah dan bersiap membangun masa depan yang lebih baik.
Menurutnya, penting bagi anak-anak keturunan Maluku di Belanda untuk tumbuh dengan pemahaman yang kuat terhadap asal-usul mereka, serta semangat untuk terus menjaga nilai-nilai budaya leluhur.
Meski Simon menyadari bahwa impiannya melihat RMS menjadi kenyataan mungkin tidak terjadi dalam hidupnya, ia tetap optimis bahwa suatu saat akan tiba masa di mana generasi penerus bisa mewujudkannya.
Ia meyakini bahwa perjuangan identitas harus diwariskan, bukan dilupakan.