Suara.com - Simon Tahamata resmi menjadi kepala pemandu bakat Head of Scouting sepak bola nasional.
Penunjukkan Simon Tahmata oleh PSSI makin meningkatkan kepercayaan diri publik, Timnas Indonesia akan meraih prestasi di level dunia.
Simon Tahamata adalah legenda Ajax dan Belanda. Ia bukan sosok sembarangan. Prestasi sebagai pemain tidak hanya diakui di Belanda namun juga dunia.
Simon Tahamata nantinya akan bertanggung jawab untuk mengidentifikasi dan merekrut talenta potensial baik dari dalam negeri maupun diaspora Indonesia di luar negeri, khususnya di Belanda.
Pensiun sebagai pemain, Simon Tahamata memang berkecimpung di pengembangan pemain muda. Ia pernah memoles banyak pemain bintang di tim muda Ajax.

Tangan dingin Simon Tahamata hasilkan bibit-bibit unggul seperti Wesley Sneijder, Rafael van der Vaart, hingga Nigel de Jong.
Namun di luar prestasinya baik sebagai pemain dan pelatih pemain muda, Simon ternyata sempat tersandung skandal gegerkan Eropa.
Simon Tahamata dan Skandal Bellemans
Simon Tahamata pada 1980 pindah dari Ajax ke klub Belgia, Standard Liege. Sayang kepindahan Simon ke Liege membawanya ke masa kegelapan.
Baca Juga: H-3 TC Timnas Indonesia Calvin Verdonk Ucapkan Selamat Tinggal, Mees Hilgers Masih Cedera
Mencetak 14 gol dari 109 pertandingan bersama Ajax membuat Liege tertarik untuk boyong Simon.
Musim pertama dijalani Simon Tahamata dengan baik-baik saja, petaka datang pada musim kedua.
Standard Liege terlibat skandal match-fixing pada 1982. Kasus ini gegerkan Eropa saat itu dan kemudian dikenal dengan sebutan skandal Bellemans.
Nama Bellemans diambil dari hakim investigasi kasus ini, Guy Bellemans.
Kasus match-fixing ini melibatkan kapten Liege, Eric Gerets sebagai pelaku utama.
Dari hasil penyelidikan Guy Bellemans, terungkap Gerets memberikan uang suap kepada Roland Janssen sebelum pertandingan antara Liege vs Waterschei S.V di musim 1982.
Namun skandal ini baru terkuak ke publik pada 1984. Di musim 1982, Liege meraih gelar juara Liga Belgia.
Gerets saat itu mengatur pertandingan melawan Waterschei S.V. Jika Liege berhasil meraih hasil imbang, mereka akan meraih gelar juara musim itu.
Dari hasil penyelidikan hakim Guy Bellemas, terkuak, Gerets tidak hanya menyuap Janssen yang notabene pemain Waterschei S.V.
Gerets juga memiliki kaki tangan agar pertandingan berakhir sesuai rencananya. Nama Simon Tahamata terseret.
Gerets mengatur rekan setimnya yakni Michel Preud'homme, Jos Daerden, Arie Haan, dan Simon Tahamata, nantinya para pemain ini dijanjikan bonus.
Selain itu, Gerets juga menjajikan uang bonus kemenangan di laga sebelumnya akan diberikan kepada pemain Waterschei S.V.
Akal bulus Gerets berjalan lancar. Di laga itu, Liege sukses menggebuk Waterschei S.V. dengan skor 3-1 dan meraih gelar juara Liga Belgia.
Sebenarnya kasus ini terkuak karena tidak sengaja. Hakim investigasi Guy Bellemas saat itu tengah menyelidiki jaringan mafia di sepak bola Belgia.
Ia kemudian menemukan sejumlah bukti skandal Liege yang menyeret nama Simon Tahamata.
![Legenda Ajax berdarah Ambon, Simon Tahamata [Tangkap layar Instagram]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/02/07/88771-simon-tahamata.jpg)
Hasil penyelidikan kemudian menyatakan para pelaku bersalah dan terbukti terlibat dalam match fixing.
Eric Gerets pelaku utama mendapat sanksi berat yakni skorsing selama tiga tahun. Petinggi klub Liege dari pelatih hingga CEO juga kena sanksi sama.
Sementara kaki tangan Gerets dihukum beragam. Roland Janssen disanksi dua tahun, Walter Meeuws, Guy Vandersmissen, Michel Preud'homme, Theo Poel, Gerard Plessers dan Jos Daerden disanksi satu tahun.
Bagiaman nasib Simon Tahamata? Simon juga disanksi satu tahun--sanksi sama yang diterima oleh bek PSM Yuran Fernandes.
Dari pemain yang terlibat, hanya Arie Haan yang lolos dari sanksi karena pada 1984 ia bermain di Hongkong.
Sementara PSSI-nya Belgia tidak memberikan sanksi degradasi kepada Liege dengan alasan kasusnya sudah kadaluarsa.
Tahamata tak membantah dengan skandal yang terjadi di Liege itu.
"Eric Gerets telah mengatur segalanya dengan pemain Waterschei. Mereka tidak akan mempersulit kami karena kami harus tampil di final Eropa," kata Simon kepada Het Nieuwslblad.
"Aneh rasanya menyaksikan pertandingan itu lagi," sambug Simon.
Simon Tahamata mengaku bahwa sanksi yang ia terima sangat berat. Bukan hanya ia yang tertekan namun juga keluarganya.
"Itu hukuman yang berat. Bukan hanya untuk saya, tetapi untuk seluruh keluarga,"
"Orang tua saya tahu saya telah melakukan kesalahan dan harus membayarnya," kata Simon.
"Itu titik terendah dalam karier saya," kenang Simon Tahamata.