Suara.com - Vitesse Arnhem, salah satu klub tertua di Belanda, resmi kehilangan lisensi profesionalnya dari federasi sepak bola Belanda (KNVB), mengakhiri kisah panjang mereka di sepak bola papan atas.
Kabar ini menjadi pukulan telak bagi dunia sepak bola Belanda dan menjadi peringatan keras bagi klub-klub Eropa lainnya tentang bahaya kepemilikan asing yang tidak bertanggung jawab.
Didirikan pada tahun 1892, Vitesse dikenal sebagai klub Eredivisie yang konsisten berada di papan tengah klasemen, bahkan sempat mencicipi kompetisi Eropa beberapa kali.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, arah klub berubah drastis setelah membuka pintu kepada investor asing, termasuk keterkaitannya dengan mantan pemilik Chelsea, Roman Abramovich.
![Efek Domino Skandal Abramovich! Eks Klub Kevin Diks Divonis Jadi Tim Amatir [Tangkap layar X]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/08/04/26835-kevin-diks.jpg)
Selama dekade 2010-an, Vitesse menjadi "feeder club" tak resmi bagi Chelsea.
Klub ini menjadi rumah pengembangan pemain muda seperti Nemanja Matic dan Mason Mount. Selain itu, pemain Timnas Indonesia, Kevin Diks pernah berkarier di Vitesse pada 2013.
Hubungan ini terkuak lebih jelas setelah bocornya dokumen Cyprus Confidential yang mengaitkan keterlibatan keuangan Abramovich dalam pengelolaan klub.
Sayangnya, impian menjadi klub elite justru menjerumuskan Vitesse ke jurang kehancuran.
Setelah invasi Rusia ke Ukraina pada 2022, Vitesse memutus hubungan dengan investor asal Rusia.
Baca Juga: Ajax Amsterdam Sepakati Transfer Teman Kevin Diks, Gantikan Jorrel Hato
Klub lalu dikembalikan ke anggota lokal dan mencari pemilik baru untuk mempertahankan statusnya di level atas.
Sayangnya, keputusan untuk menyerahkan kepemilikan kepada investor Amerika, Colby Perry, justru memperburuk keadaan.
Menurut jurnalis Belanda Sjoerd Mossou, Perry tidak lolos verifikasi lisensi dari KNVB.
Vitesse mencoba mencari pengganti, namun waktu tidak berpihak.
Akibatnya, klub gagal memenuhi syarat kelayakan dan akhirnya dicoret dari sistem liga profesional Belanda.
![Efek Domino Skandal Abramovich! Eks Klub Kevin Diks Divonis Jadi Tim Amatir [Tangkap layar X]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/08/04/44206-kevin-diks.jpg)
Tidak seperti Inggris atau Skotlandia yang memiliki sistem terbuka dan memungkinkan klub bangkit dari divisi amatir, Belanda memiliki struktur piramida tertutup.
Artinya, jika Vitesse ingin kembali ke sepak bola profesional, mereka harus memulai dari level amatir, menapaki tangga kompetisi, dan mengajukan lisensi baru—proses yang bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Kisah tragis Vitesse memberikan pelajaran penting.
Di Belanda, tidak ada klub yang benar-benar bisa mencari keuntungan finansial seperti di Premier League.
Di luar klub besar seperti Ajax, Feyenoord, dan PSV, tidak ada jaminan pendapatan stabil.
Maka ketika klub seperti Vitesse mencoba "terbang tinggi" dengan dana luar negeri, mereka justru "terbakar" seperti Icarus yang mendekati matahari.
Kehancuran Vitesse bukan satu-satunya peringatan.
Klub seperti ADO Den Haag juga tengah dilanda krisis akibat campur tangan asing.
Saat klub mengejar ambisi tanpa pijakan kuat di komunitas lokal, mereka rentan terhadap kehancuran struktural.
Kini, suara-suara di sepak bola Belanda semakin bulat, kembalikan klub kepada komunitas.
Model kepemilikan lokal seperti di Bundesliga dan beberapa klub Belanda lain dianggap lebih aman dan berkelanjutan.
Vitesse mungkin belum sepenuhnya mati. Namun jika mereka kembali, perjalanan akan panjang dan penuh tantangan.
Kisah ini menjadi pengingat bahwa kejayaan instan lewat jalan pintas seringkali membawa kehancuran.
Dan bagi sepak bola Belanda, ini adalah hari yang sangat menyedihkan.