"Saat dia sampai di sekolah, dia melihat infrastruktur sekolah itu memang sudah sangat tidak layak untuk digunakan," jelas Jokan.
Kondisi finansial siswa yang sekolah di sana pun digambarkan sang guru honorer sebagai sesuatu yang memprihatinkan.
Ia bahkan sampai ikut membantu memenuhi kebutuhan siswa, meski bayaran guru honorer juga tidak besar.
"Dia, dengan uang Rp250 ribu itu, akhirnya memutuskan untuk ikut membantu siswa yang membutuhkan. Jadi, apakah dia butuh pakaian atau makanan segala macem," papar Jokan.
Setelah dananya cair, baru diketahui bahwa uang tersebut bukan dimanfaatkan untuk pembenahan infrastruktur sekolah, melainkan masuk ke kantong pribadi sang kepala sekolah. "Padahal, sebenernya itu untuk pribadi," kata Jokan.
Jokan pun sependapat dengan Pandji, bahwa budaya korupsi di Indonesia terlanjur mengakar kuat.
Sangat disayangkan oleh Jokan, bagaimana praktek kecurangan sudah menyebar sampai ke lembaga yang semestinya mencetak pribadi-pribadi yang punya integritas.

"Ini emang udah mendarah daging, bahkan sampai ke institusi yang seharusnya mencetak manusia-manusia yang bisa memiliki kapabilitas untuk menolak korupsi," keluh Jokan.
Isu sosial itu juga yang sebenarnya ikut melatarbelakangi penggarapan film Pengepungan di Bukit Duri, yang sudah mulai tayang di bioskop.
Baca Juga: Review Film Pengepungan di Bukit Duri: Tamparan Emosional dan Jerit Sosial
Sudah sejak lama, Jokan punya keresahan tentang rusaknya kualitas pendidikan Indonesia karena kegagalan pemerintah menghadirkan sekolah yang sesuai visi misi negara untuk mencerdaskan masyarakat.