Suara.com - Pemberian jam tangan Rolex untuk para pemain Timnas Indonesia menuai pro kontra, salah satunya Ernest Prakasa yang mempertanyakan soal anggaran.
Jay Idzes dkk diberi hadiah oleh Presiden Prabowo Subianto setelah kemenangan penting melawan China dalam Kualifikasi Piala Dunia 2026.
Pertandingan yang digelar pada Kamis, 5 Juni 2025, berakhir dengan kemenangan tipis 1-0 untuk Indonesia, berkat gol dari Ole Romeny.
Kemenangan ini sangat krusial karena memastikan Indonesia lolos ke babak keempat Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia.
Sebagai bentuk apresiasi, para pemain diundang oleh Prabowo Subianto ke kediaman pribadinya di Jalan Kertanegara IV, Jakarta, pada Jumat, 6 Juni 2025.
Di sana, mereka menerima goodie bag yang berisi jam tangan Rolex. Bisa dilihat dari unggahan Justin Hubner.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa hadiah yang diberikan adalah Rolex GMT-Master II 40mm, dengan kisaran harga antara Rp193 juta hingga Rp254 juta per unit.
![Timnas Dapat Jam Tangan Rolex Rp254 Juta dari Prabowo. [Instagram Justin Hubner]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/06/06/52816-timnas-dapat-jam-tangan-rolex-rp254-juta-dari-prabowo.jpg)
Sebagian masyarakat melihat pemberian ini sebagai bentuk motivasi dan penghargaan atas perjuangan para pemain.
Namun, tidak sedikit pula yang mempertanyakan transparansi dan urgensi dari pemberian hadiah semahal itu.
Dalam unggahannya di media sosial, Ernest Prakasa mempertanyakan asal-usul anggaran untuk hadiah jam tangan mewah tersebut.
Baca Juga: Makin Lengket dengan Jennifer Coppen, Justin Hubner Dibilang Berani Ambil Risiko
"Turut senang untuk para pemain yang sudah berjuang," tulis komika sekaligus pelaku industri perfilman Indonesia ini.
"Tapi sebagai warga negara, sepertinya wajar kalo gue bingung, katanya lagi penghematan, terus ini pakai anggaran apa?" lanjutnya.
Pernyataan tersebut langsung menyulut diskusi hangat di media sosial.
Banyak netizen mengungkapkan kekhawatiran serupa mengenai keadilan dalam distribusi anggaran negara, khususnya di bidang olahraga.
Beberapa bahkan menyinggung soal pembatalan kegiatan olahraga di tingkat pelajar, seperti O2SN untuk cabang bulutangkis.
Ironisnya, bulutangkis justru merupakan salah satu olahraga andalan Indonesia di ajang internasional.
"Yang paling menyedihkan bagi saya, untuk tingkat anak-anak SD, O2SN badminton malah dihilangkan. Padahal anak saya sudah berlatih bertahun-tahun dan menanti momen ini di tahun ini," tulis salah satu netizen yang kecewa.
"Katanya efisiensi? Omong kosong! Semua sektor berdarah-darah gara-gara efisiensi. Banyak yang kena PHK, semua terpaksa makan tabungan, itu pun kalau ada," tambah netizen.
Namun, tidak sedikit pula yang membela tindakan Presiden Prabowo, dan mengkritik Ernest.
Mereka menegaskan bahwa jam tangan tersebut merupakan hadiah pribadi yang tidak menggunakan anggaran negara.
"Sekelas Ernest saja masih mempertanyakan anggaran, padahal itu jelas-jelas duit pribadi Prabowo. Mereka diundang makan siang di kediaman pribadi di Kertanegara, bukan di istana," tulis netizen.
Netizen lain mengingatkan bahwa sekalipun hadiah tersebut bersumber dari dana pribadi, tindakan seorang presiden tetap akan berada di bawah sorotan publik karena menyangkut simbol negara.
"Kalau memang dasarnya benci, ya otak nggak bakal dipakai. Logikanya aja, kalau itu undangan dari negara, kenapa dilakukan di rumah pribadi presiden, bukan di Istana Negara?" sahut netizen.
Hingga saat ini belum jelas mengenai anggaran jam tangan Rolex, apakah diambil dari dana negara atau kantong pribadi Prabowo.
Pro kontra masih berlanjut, terutama dengan viralnya isu tambang nikel di Raja Ampat.
Publik merasa euforia lolosnya Timnas Indonesia ke babak kualifikasi Piala Dunia tahap berikutnya sengaja dibuat untuk menutupi isu tersebut.
Di sisi lain, sejumlah netizen menganggap hadiah Rolex terlalu dini karena Patrick Kluivert belum pasti membuat Timnas lolos ke Piala Dunia.
Prabowo seharusnya menahan dulu untuk memberi hadiah mewah sampai timnas benar-benar lolos ke pesta olahraga empat tahunan tersebut.
Ernest Prakasa mungkin hanya ingin mewakili suara sebagian masyarakat yang ingin memastikan bahwa apresiasi terhadap atlet berjalan seimbang dan transparan.
Kontributor : Chusnul Chotimah