Suara.com - Lupakan sejenak hingar bingar horor dan ledakan tawa komedi. Di sudut hening platform Netflix, sebuah film siap menyajikan luka: 1 Kakak 7 Ponakan.
Ia adalah cermin retak yang dipaksa untuk kita tatap, terutama bagi jiwa-jiwa muda yang terimpit zaman.
Film besutan Yandy Laurens ini bukan cerita baru. Ia daur ulang dari sinetron legendaris, serta lahir dari novel Arswendo Atmowiloto yang sudah marhum.
Namun di tangan Yandy, ia bereinkarnasi menjadi sebuah pertanyaan eksistensial yang pedih, dan relevan untuk kita yang hidup di urban perkotaan seperti Jakarta.

Narasi Sebuah Kehidupan yang Terenggut
Mimpi Moko (Chicco Kurniawan) terhampar luas. Ia mahasiswa arsitektur.
Kekasihnya, Maurin (Amanda Rawles), setia di sisi. Masa depan tampak cerah, terukur, dan penuh janji.
Lalu, satu malam merenggut segalanya.
Kakak dan iparnya tiada. Meninggalkan Moko bersama tujuh nyawa kecil.
Baca Juga: Game Legendaris Assassin's Creed Resmi Digarap Jadi Serial Live-Action
Tujuh ponakan yang tatapannya kosong, menuntut jawaban yang Moko sendiri tak punya.
Rak buku arsitektur berganti popok bayi. Sketsa bangunan berubah menjadi daftar belanjaan susu.
Mimpinya dikubur paksa oleh takdir. Inilah awal dari perjalanan Moko, sebuah ziarah batin yang menyakitkan.

Jika kita hanya melihatnya sebagai kisah sedih, kita kehilangan inti dari film ini.
Kekuatan 1 Kakak 7 Ponakan terletak pada lapisan analisisnya yang dalam.
Film ini adalah studi kasus tentang trauma dan grief yang tertunda (delayed grief).
Moko tidak diberi kemewahan waktu untuk berduka. Tanggung jawab datang seperti badai, memaksanya untuk berfungsi, bukan untuk merasakan.
Krisis Identitas: siapakah Moko sekarang? Jiwa arsiteknya sekarat. Identitasnya sebagai kekasih terkikis oleh kelelahan.
Ia terlempar ke dalam peran "ayah" yang tak pernah ia minta. Film ini dengan gamblang menunjukkan fragmentasi identitas ini.
Moko adalah sekumpulan peran yang saling bertentangan, terperangkap dalam satu tubuh yang lelah.
Moko menunjukkan mekanisme pertahanan sublimasi. Ia menyalurkan rasa sakit, amarah, dan keputusasaannya menjadi tindakan merawat.
Namun, ada kalanya pertahanan itu runtuh, dan kita melihat kerapuhan aslinya—seorang pemuda yang kehilangan arah.
Di sinilah film ini mencapai puncaknya. Yandy Laurens tidak sedang membuat film, ia sedang mengajukan tesis filosofis.
Moko adalah mitos Sisifus modern dalam tradisi absurdisme Albert Camus. Setiap hari ia mendorong batu besar tanggung jawab ke puncak bukit, hanya untuk melihatnya menggelinding kembali esok pagi.
Bangun, membuat susu, mengurus sekolah, bekerja, menidurkan anak-anak, tidur sejenak, lalu ulangi.
Sebuah rutinitas absurd. Namun, Camus berkata, "The struggle itself... is enough to fill a man's heart. One must imagine Sisyphus happy." Apakah Moko bahagia?
Film ini membiarkan kita bergulat dengan pertanyaan itu.
Jean-Paul Sartre pernah berujar, kita "dikutuk untuk bebas" (condemned to be free), seperti itu juga Moko dalam film ini.
Moko, secara teknis, bebas untuk pergi. Ia bisa menyerahkan ponakannya ke panti asuhan dan mengejar mimpinya.
Namun ia memilih untuk tinggal. Dalam pilihan inilah, ia mendefinisikan esensinya.
Beban tanggung jawab yang ia pikul adalah manifestasi dari kebebasannya. Pilihan itu menjadi penjara sekaligus mahkotanya.
Di tengah situasi yang tampaknya tanpa makna, manusia dipaksa menciptakan maknanya sendiri.
Awalnya, Moko melakukannya karena kewajiban. Namun perlahan, cinta yang tulus tumbuh.
Merawat ketujuh ponakannya bukan lagi sekadar beban peninggalan sang kakak, tapi menjadi panggilan jiwa (a calling), satu-satunya hal yang memberi hidupnya arti di tengah kekacauan.
Sejumlah kritik
Yandy terlihat memoles film ini dengan cara ia menggunakan kamera. Sudut pengambilan gambar yang ganjil bukan sekadar gaya. Itu adalah mata Moko yang lelah, perspektifnya yang miring terhadap dunia.
Pencahayaan yang seringkali temaram bukanlah estetika kosong. Itu adalah cerminan jiwanya yang meredup, yang hanya sesekali diterangi oleh senyum polos para ponakannya.
Setiap frame adalah puisi visual tentang kelelahan dan ketegaran.
Meski efektif secara tematis, pendekatan ini berisiko menguji kesabaran sebagian penonton.
Ada beberapa segmen di bagian tengah film yang terasa sedikit terseret, di mana penderitaan Moko dieksploitasi berulang kali tanpa memberikan progresi naratif atau wawasan emosional yang baru.
Alih-alih memperdalam simpati, ada potensi munculnya emotional fatigue atau kelelahan emosional pada penonton, membuat mereka sedikit berjarak dari layar.
Lalu, ada pula penampakan "orbit yang terlalu ramai di sekitar matahari". Moko adalah matahari di tata surya film ini.
Semua karakter lain adalah planet yang mengorbit di sekelilingnya. Ini efektif untuk menunjukkan betapa terpusatnya beban pada dirinya.
Akibatnya, karakter pendukung terasa kurang mendapat pendalaman yang sepadan.
Ketujuh ponakan, meskipun diperankan dengan baik, seringkali berfungsi lebih sebagai "kolektif masalah" ketimbang individu dengan busur ceritanya masing-masing.
Kita melihat kesedihan dan kebutuhan mereka, tetapi jarang sekali menyelami dunia batin, ketakutan, atau harapan mereka secara spesifik.
Karakter Maurin (Amanda Rawles) juga berisiko jatuh ke dalam arketipe "The Supportive Girlfriend".
Ia hadir sebagai jangkar moral dan emosional bagi Moko. Perannya sangat penting, namun eksistensinya terasa hampir sepenuhnya didedikasikan untuk krisis sang protagonis.
Kita tahu ia mencintai Moko, tapi siapakah Maurin di luar hubungannya dengan Moko? Apa mimpi dan ketakutannya sendiri? Sedikit lebih banyak agensi dan kehidupan batin untuk Maurin bisa membuat dinamika mereka menjadi lebih seimbang dan tragis.
Setelah membangun konflik eksternal (finansial) dan internal (psikologis) yang begitu kompleks dan berat, penyelesaian beberapa masalah di babak akhir terasa sedikit terlalu rapi.
Bantuan yang datang dan solusi yang muncul, meskipun realistis, terasa sedikit mengurangi bobot dari perjuangan panjang yang telah kita saksikan.
Film ini dengan brilian menggambarkan masalah sistemik seperti beban generasi sandwich dan kegagalan jaring pengaman sosial, namun solusinya terasa sangat individual.
Ini bukan sebuah kelemahan fatal, namun ada perasaan bahwa kerumitan masalah yang telah dipaparkan selama dua jam layak mendapatkan resolusi yang juga sama rumitnya, atau bahkan membiarkannya sedikit lebih terbuka (open-ended).
Pertanyaan untuk Kita
Terlepas dari sejumlah kritik tadi,film 1 Kakak 7 Ponakan akan menguras emosi Anda yang hanya ingin menonton film.
Namun di balik itu, ia meninggalkan endapan perenungan yang dalam. Ini bukan cerita tentang pengorbanan heroik.
Ini adalah cerita tentang manusia biasa yang dilempar ke dalam situasi luar biasa dan dipaksa untuk menemukan kemanusiaannya.
Film ini tidak memberikan jawaban. Ia hanya bertanya kepada kita semua: jika takdir merampas mimpimu hingga tak bersisa, makna apa yang akan kamu ciptakan dari puing-puingnya?