Suara.com - Sebuah karier yang dibangun bertahun-tahun di atas panggung gemerlap, kini runtuh dalam hitungan hari di pengadilan media sosial yang tak kenal ampun.
Apa yang menimpa DJ Panda bukan lagi sekadar skandal atau badai sesaat namun ini adalah sebuah obituari karier yang ditulis dengan tinta digital yang tak akan pernah kering.
Kejatuhannya berlangsung dalam tiga babak yang cepat dan brutal, dimulai dari sebuah guncangan, dilanjutkan dengan sebuah blunder, dan diakhiri dengan sebuah pukulan pemungkas yang tampaknya telah mematikan semua harapan.
Semua berawal dari satu pengakuan Erika Carlina di sebuah podcast.
Dalam waktu kurang dari 48 jam, tsunami cancel culture menghantam DJ Panda dengan kekuatan penuh. Ini bukanlah sekadar hujatan netizen, melainkan sebuah vonis finansial yang nyata dan menyakitkan.
Merek-merek raksasa di industri hiburan malam—Atlas Super Club, HW Group, Angels Wing, dan puluhan lainnya—serentak mengeluarkan pengumuman resmi. Namanya dicabut, jadwalnya dibatalkan, dan panggung yang menjadi sumber kehidupannya mendadak tertutup rapat.
Ini adalah guncangan pertama. Kehilangan puluhan jadwal manggung, yang masing-masingnya bernilai puluhan juta rupiah, berarti potensi kerugian ratusan juta dalam sebulan.
Namun, lebih dari sekadar uang, ini adalah sinyal pertama dari industri bahwa citranya telah menjadi racun. Pada titik ini, kariernya terluka parah, tetapi secara teori, masih ada peluang untuk diselamatkan.
Di tengah krisis, sebuah permintaan maaf yang tulus bisa menjadi alat penyelamat. Publik memberinya panggung dan kesempatan emas untuk berbicara, untuk menunjukkan penyesalan dan mengambil tanggung jawab.
Baca Juga: Tangisan DJ Panda Minta Maaf ke Erika Carlina Dicemooh: Jangan Pura-Pura Nyedot Ingus
Namun, yang ia sajikan adalah sebuah video klarifikasi berdurasi belasan menit yang menjadi blunder terbesar dalam drama ini.
Alih-alih menunjukkan empati, video tersebut dipenuhi narasi defensif.
Frasa-frasa seperti "saya khilaf", "dapat dorongan dari luar", dan "saya juga diancam" menjadi bumerang yang menghancurkan.
Publik tidak melihat seorang pria yang menyesal, melainkan seseorang yang sibuk mencari pembenaran, mengecilkan masalah, dan melempar sebagian kesalahan.
Kesempatan untuk memadamkan api terbuang sia-sia; ia justru menyiramnya dengan bensin. Reaksi publik menjadi semakin negatif, dan pintu simpati yang tadinya sedikit terbuka, kini tertutup lebih rapat.
Jika klarifikasi yang gagal menutup pintu simpati, maka tudingan terbaru dari DJ Bravy adalah paku terakhir di peti mati kariernya.
Pernyataan bahwa ada dua perempuan lain yang mengaku mengalami nasib serupa—dihamili oleh DJ Panda—adalah point of no return.
Ini adalah pukulan yang paling merusak karena ia mengubah narasi secara fundamental.
Ini bukan lagi soal satu hubungan toksik atau sebuah "kesalahan" dalam satu kasus. Tudingan adanya tiga korban (termasuk Erika) membentuk sebuah dugaan pola perilaku predatoris berantai.
Label yang melekat padanya kini bergeser drastis di mata publik: dari "mantan yang tidak bertanggung jawab" menjadi "terduga predator serial".
Tuduhan ini menghapus semua kemungkinan keraguan dan membingkai seluruh perilakunya dalam cahaya yang jauh lebih gelap dan terencana.
Bagi dunia bisnis yang dingin dan penuh perhitungan, tuduhan terbaru ini bisa jadi vonis mati.
DJ Panda kini telah menjadi apa yang disebut sebagai "aset beracun" (toxic asset). Tidak ada lagi promotor, sponsor, atau merek yang berani mengasosiasikan diri mereka dengannya.
Risikonya terlalu besar. Menampilkan DJ Panda di sebuah acara kini bukan hanya berisiko sepi penonton, tetapi juga berisiko mengundang protes, boikot, dan merusak citra merek mereka secara permanen.
Apakah tamat sudah? Semua bukti menunjukkan ke arah sana.
Dari guncangan finansial, kegagalan komunikasi fatal, hingga tudingan pola perilaku yang mengerikan, semua elemen telah bersatu untuk menciptakan badai sempurna yang menghancurkan sebuah karier.
Di era digital, jejak skandal seperti ini akan abadi. Pertanyaannya bukan lagi apakah karier DJ Panda bisa diselamatkan, melainkan seberapa dalam reruntuhan citranya akan terkubur.
Untuk saat ini, panggungnya gelap, musiknya telah berhenti, dan yang tersisa hanyalah keheningan di tengah puing-puing nama besar yang kini telah hancur menjadi abu.