Suara.com - Pernyataan Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) Dharma Oratmangun mengenai kewajiban membayar royalti bagi kafe yang memutar rekaman suara alam, termasuk burung, menuai reaksi sengit dari publik.
Pernyataan tersebut dengan cepat memicu perdebatan panas dan menjadi buah bibir di berbagai platform media sosial, memantik amarah sekaligus sarkasme dari warganet.
Polemik ini bermula ketika Dharma menegaskan bahwa penggunaan rekaman suara alam, seperti kicauan burung atau gemericik air, untuk tujuan komersial tetap memiliki hak terkait yang dilindungi undang-undang.
Menurutnya, ada hak produser fonogram yang merekam suara tersebut dan harus dihargai.
Hal ini menyusul fenomena banyaknya pemilik kafe dan restoran yang beralih memutar suara alam untuk menghindari kewajiban membayar royalti musik.
![Ketua LMKN, Dharma Oratmangun dalam sebuah wawancara di kawasan Senayan, Jakarta, Jumat, 23 Mei 2025. [Suara.com/Adiyoga Priyambodo]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/05/23/80666-ketua-lmkn-dharma-oratmangun.jpg)
"Nah sekarang kalau dia putar suara burung atau suara apapun, itu ada hak dari produsen fonogramnya. Produsen yang merekam itu kan punya hak terkait. Hak terhadap materi rekaman itu, itu juga hak terkait dari bentuk rekaman audio itu," jelas Dharma.
Dharma juga menyayangkan sikap sebagian pelaku usaha yang enggan menghargai hak kekayaan intelektual orang lain.
Ia menekankan pentingnya edukasi kepada masyarakat mengenai kewajiban membayar hak orang lain ketika mendapatkan keuntungan dari karya tersebut.
"Jadi begini, kenapa susah sih untuk membayar haknya orang gitu? Itu harus kita edukasi masyarakat juga kan. Mendapatkan keuntungan di kafe atau di apa gitu, tapi nggak mau bayar haknya orang gitu. Itu kan nggak bagus, itu bertentangan dengan budaya kita, gitu," tegasnya.
Baca Juga: Ramai Kafe Putar Suara Burung Demi Hindari Royalti, Ketua LMKN: Rekaman Alam Juga Ada Haknya!
Sontak, jagat maya pun bergemuruh. Banyak warganet yang tidak habis pikir dengan logika di balik pernyataan tersebut.
Seperti yang terekam dalam sebuah video di Instagram hari ini, Senin, 4 Agustus 2025, seorang perempuan dengan nada satire mempertanyakan kebijakan pemerintah yang seolah tak pernah puas.
Ia menyoroti bagaimana alam Indonesia yang sudah dieksploitasi, kini suaranya pun hendak dikomersialkan.
Kritik pedas dilontarkannya dengan sebuah pertanyaan menohok yang menggelitik.
"Pemerintah kurang puas mungkin ya. Alam Indonesia udah dieksploitasi, udah dirusak, suara alamnya juga mau dikomersilkan," ujarnya dalam video tersebut.
Perempuan itu lantas menyindir dengan mengatakan bahwa pemerintah seolah menganut konsep meminimalisasi kerja namun memaksimalkan pungutan.
Puncak dari kekesalannya diekspresikan dengan sebuah kekhawatiran yang bernada sarkasme tinggi.
"Yang saya khawatirkan sekarang cuma satu ya, apakah pemerintah ke depannya akan menarik pungutan dari kentut?" tanyanya.
![Ilustrasi royalti lagu [asb].](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/02/15/83751-ilustrasi-royalti-lagu.jpg)
Sebenarnya, fokus pernyataan Dharma memang bukan tertuju ke suara alam yang diputar sebagai pengganti musik yang diputar di restoran.
Dharma jelas menyebutkan bahwa yang coba ia lindungi adalah hak mereka yang mengabadikan suara tersebut dalam bentuk rekaman.
Meski demikian, warganet kadung melihat kebijakan ini sebagai sebuah kebijakan yang tidak berpihak pada pengusaha kecil.
Sebuah hal yang wajar juga, mengingat ada beberapa produser yang sengaja membuat karya musik yang bebas dari pungutan royalti.
Yang pasti, gelombang protes dan sindiran di media sosial masih terus berlanjut, dengan menjadikan isu royalti suara alam ini sebagai cerminan kegelisahan masyarakat terhadap berbagai peraturan yang dianggap memberatkan